Jumat, 26 Agustus 2011

"Pemerintah Tak Tegas Soal Pilkada Aceh"

Foto: Pilkada Aceh/Blog
ACEH MINUTES] JAKARTA - Ketidaklancaran pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh lebih disebabkan ego elit partai di Aceh, sehingga akan berdampak pada kemajuan demokrasi yang telah dibangun.

"Jadi buat saya, di mana sebetulnya harga diri itu. Ini kan bukan rakyat Aceh yang menginginkan, tapi elite partai politik tertentu saja," kata anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin dalam acara diskusi dengan tajuk ‘Mengurai Karut Marut Pemilukada Aceh, Sebuah Perspektif: Tantangan Terhadap Kedaulatan Hukum RI’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis.

Politisi Golkar ini berpendapat, apa yang menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu dibolehkannya calon independen atau perseorangan untuk maju, sebaiknya diakomodir dalam qanun. Menurutnya, para pihak terkait di Aceh tidak usah takut dengan kehadiran calon perseorangan.

"Saya hanya mengharapkan elit politik di Aceh untuk menghormati perkembangan yang ada. Meskipun Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh sekarang dan pihak yang akan maju dari calon perseorangan-red) peluangnya besar tapi belum tentu menang," tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo berpendapat, konflik yang muncul dalam pemilukada Aceh kali ini akibat dari tidak tuntasnya MoU Helsinki. Kompromi politik yang diwujudkan dalam MoU tersebut tidak membahas hingga pengaturan lebih detil mengenai daerah tersebut, termasuk bagaimana hubungan antara pusat dengan daerah.

"Kalau di Pemilukada Aceh itu konflik dan yang selalu dituding karena adanya putusan MK. Ini menunjukkan Indonesia itu belum bisa diterima dengan baik oleh kalangan politik di Aceh," ujar Arif.

Menurut Arif, jika memang para pihak terkait di Aceh tidak menginginkan adanya calon independen atau perseorangan, artinya hal itu bertentangan dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

"Mereka yang menolak calon independen mendatangi kita (Komisi II) dan meminta itu supaya dicabut. Kalau memang mau dicabut, ya kewenangan MK-nya diubah dulu supaya dia tidak bisa memutus mengenai itu," tandasnya.

Seperti diketahui pada tanggal 3 Agustus 2011 para stakeholder terkait Pemilukada Aceh bertemu dan sepakat adanya jeda atau masa cooling down dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh. Masa ini dimulai 5 Agustus hingga 5 September 2011. Setelah itu selama dua pekan mulai 6 September 2011 hingga 19 September 2011 DPRA dan Pemerintah Aceh harus membahas ulang rancangan qanun Pemilukada Aceh.

Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti menilai bahwa pemerintah tidak tegas dalam menangnai konflik regulasi pada pemilukada Aceh. “GAM/PA kedudukannya dimata hukum sejajar dengan Organisasi Politik lainnya, dan damai Aceh sudah pada titik kulminasi dan harus kembali pada kehidupan normal seperti provinsi lainnya,” kata Ray.

Ray juga menghimbau agar tetap mewaspadai separatisme gaya baru yang lebih cerdik. "Partai Nasional kehilangan nurani ke Indonesiaannya, sehingga rawan dalam menentukan Cagub Aceh," tandas Ray.sumber: antaranews