Opini












 Never Visit to Banda Aceh 2011

 


SAYA tak tahu apa yang ada di kepala Wakil Walikota Banda Aceh, Iliza Saanudin Djamal, ketika melakukan kebijakan ini. Beberapa hari menjelang Ramadhan ia merazia hotel-hotel di Banda Aceh. Sikapnya telah mengganggu kenyaman para turis sekaligus sambutan terburuk bagi orang yang baru pertama ke Aceh. Para turis kaget setengah hidup ketika tengah malam kamarnya digedor WH. Bryan, seorang tamu menggerutu setelah tahu maksud tindakan itu untuk mengecek pasangan yang bukan muhrim.
Foto FB T.Kemal Fasya 
“Saya ke Aceh dengan pikiran untuk memahami kebudayaan di sini. Tapi malah dirazia tepat di malam pertama saya tiba”,  ungkapnya di depan Iliza yang mencoba merayu minta maaf (Harian Aceh, 28 Juli). Tentu kabar tidak menyenangkan ini akan disampaikan Bryan ke rekan dan keluarganya melalui milist dan twitter untuk tidak berkunjung ke Aceh.
Tindakan ceroboh sang wakil walikota lainnya adalah menyisir remaja komunitas punk di Blang Padang. Razia itu diikuti pengeroyokan seorang remaja oleh puluhan Satpol PP dan WH di depan matanya.  Kebijakan ini menunjukkan kekacauan pikirannya dalam merespons problem urban secara represif. Dalam satu kesempatan saya pernah mendengar Iliza berjanji membasmi kelompok punk yang dianggap bertentangan dengan Syariat Islam.
Membasmi? Apakah anak punk ini dianggap seperti serangga yang harus dibasmi, dan bukan malah dididik? Saya pun membandingkan, mana yang lebih berbahaya anak-anak punk atau kartel narkoba. Saya tak pernah mendengar seruan dari wakil walikota untuk membasmi narkoba hingga ke akar-akarnya sebagai bentuk penghinaan Syariat Islam paling nyata. Banda Aceh nyatanya menjadi sarang penyebaran narkoba terparah di Aceh.
Disorientasi
Ada banyak hal yang tidak dipahami tentang turisme, dan ikut latah-latahan membuat kebijakan.  Pariwisata diyakini sebagai upaya mendapatkan pemasukan daerah tanpa mengerti konsekuensinya sebagai bentuk lalu-lintas kunjungan masyarakat dunia.
Hal pertama yang harus dimengerti tentang pariwisata adalah presentasi. Presentasi termasuk menampilkan kebudayaan dan kesenian sebagai sesuatu “kemasan yang layak jual” yang menyebabkan para turis bisa belajar dari pengalaman melihat langsung (learning by real experience). Hal ini sebenarnya sudah dilakukan Banda Aceh dengan menyelenggarakan Festival Peunayong, Festival Krueng Aceh, atau Layang-layang internasional.
Sayangnya festival itu dibuat sangat singkat, hanya dua-tiga hari. Belum sempat berencana, even telah selesai. Saya bayangkan jika Banda Aceh mampu membuat festival kesenian yang dikombinasikan dengan eksposisi kerajinan rakyat plus produk ekonomis lainnya seperti Jakarta Fair yang berdurasi sebulan lamanya. Tentu keuntungan berlipat-lipat banyaknya dan menjadi andalan PAD yang potensial tanpa harus merusak alam. Masyarakat pun mendapatkan efek menetes (trickle down effect) dari proyek ini.
Kedua, usaha pariwisata sangat bergantung pada sarana dan prasarana yang baik dan terintegrasi. Ketika berkunjung ke Malaysia dan Singapore, harga-harga seluruh penyedia transportasi telah tertera secara pasti. Hampir tidak ada calo dan permainan harga. Tiket bus dari Kuala Lumpur ke Melaka yang berjarak 100 km hanya RM 12.5 atau sekitar Rp35 ribu. Dan harga itu berlaku sama. Demikian pula dengan harga hotel, yang bisa dipilih dari hotel berbintang hingga hotel bujet. Banda Aceh? Agak mirip dengan Medan. Ketika tahu pengguna layanannya orang asing, mulai pula mempermainkan harga. Dan praktik seperti ini berketerusan tanpa sanksi.
Yang ketiga adalah jaringan dan iklan. Iklan Malaysia berbunyi “Malaysia is the truly Asia”. Kita mendapatkan kualitas kata-kata itu secara tepat karena mereka bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan negerinya sebagai pertemuan pelbagai macam ras utama Asia dan kebudayaannya. India demikian pula. Dengan moto “Incredible India!”, dapat terasakan ada sesuatu yang luar biasa dari India. Seperti ziarah kita rindu untuk kembali ke tanah Hindustan itu. Atau iklan provinsi sebelah, “exciting North Sumatera”, dan memang sangat asik dan menyenangkan melihat panorama alam dan kesenian Sumatera Utara yang beragam.
Banda Aceh? A spritual gateway blessed with natural beauty. Kata-katanya saja tidak puitik, terlalu panjang, dan terkesan “maksa”. Spritual gateway, pintu gerbang spiritual? Apanya yang spiritual? Menggeledah hotel-hotel atau menghajar anak punk? Nilai spiritual adalah jati ilahiah yang turun melalui sikap non-agresif. Sifat Tuhan itu maha sayang  dan bukan maha bengis. Blessed with natural beauty, diberkahi  dengan alam yang asri? Yang mana keasriannya? Banda Aceh semakin gersang oleh pohon kota yang bersejarah, tepapras demi perluasan jalan dan bangunan. Gedung-gedung tua hilang dan ganti rupa. Kita tak pernah tahu lagi stasiun kereta api, bioskop pertama di Aceh, tempat makan malam masa kolonial, atau prasasti bencana tsunami. Semuanya baru dan artifisial. Pernah ada kapal besar menelusup di depan Hotel Medan. Kini telah pupus oleh tangan-tangan yang maha rakus.
Terakhir, pariwisata sesungguhnya menjual hospitality. Terjemahan tepat untuk bahasa Inggris itu adalah “keramah-tamahan dan keterbukaan”. Asal katanya adalah hospital, yang berarti tempat ramah dan nyaman bagi semua seorang. Sayangnya di Indonesia kata ini diterjemahkan menjadi “rumah sakit”, yang bermakna siapa pun yang masuk ke sana insyaAllah bertambah sakit oleh bau karbol menyengat, muka judes perawat, dan belum lagi tagihan yang selangit. Kata antagonis hospitality adalah hostility yang berarti “permusuhan dan kebencian”. Sebuah daerah yang masih dalam taraf curiga, seharusnya tak perlu ambisi menjadikan tempatnya sebagai tujuan wisata.
Ramah Kunjungan?
Pariwisata yang baik adalah kartu hijau menuju the city of hospitality, kota ramah nan nyaman. Turisme juga menjadi ajang pertemuan lintas kebudayaan (multicultural encounter), bermanfaat menambah pengetahuan bahwa ada banyak kebudayaan dan cara pikir lain di dunia ini yang bisa dipelajari, yang bisa kita dapatkan baik saat menjadi tuan rumah atau tamu.
Hospitality inilah yang berhasil direbut oleh kota-kota seperti Kuala Lumpur, Singapore, Dubai, Mallorca, Mekkah, Vatikan, Manado, Venessia, Casablanca, Ankara, dll. Kota-kota itu sebagian terkenal sebagai kota yang religius. Mereka dapat mempromosikan religiusitasnya tanpa menyakiti hati tamu. Lihat apa yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) ketika mempersilahkan Ratu Elizabeth II masuk ke dalam Mesjid Agung Seikh Zayed, setelah sebelumnya menggunakan jilbab dan kaus kaki. Sikap yang bersahabat ini akhirnya menambah pengetahuan sang ratu Inggris itu tentang dunia Islam. Ia bisa melihat langsung kemegahan mesjid itu dan memerhatikan praktik mengaji yang sedang dilakukan remaja puteri.
Sikap hostipitality seharusnya dipelajari sungguh-sungguh oleh pemkot Banda Aceh sebelum melakukan proyek turisme. Atau tutup saja proyek wisata ini bagi selain umat Islam, yang bisa dipastikan akan minim kunjungan. Apa yang akan dirasakan orang Arab atau Melayu ketika mengunjungi Banda Aceh selain kebosanan karena sama saja seperti daerah asalnya. Atau ide konyol yang menawarkan prosesi hukuman cambuk sebagai ikon wisata. Cukup tempel stiker di bandara, Never visit Banda Aceh again, because we dont have hospitality in our mind yet.[]
*Teuku Kemal Fasya, Antropolog.
Sumber Harian Aceh.com
Mengukur Keberhasilan Pemerintah (Antara SBY dan BEM)


TULISAN ini terinspirasi dari tulisan Aris Ananta, seorang pengamat ekonomi yang menulis Selamat Tinggal Pertumbuhan di salah satu surat kabar nasional.
Aris Ananta mengatakan, sesungguhnya orang telah lama menginginkan lebih dari GDP (pertumbuhan pendapatan bruto kotor) untuk mengukur pembangunan dengan banyak indikator dan tidak terpaku dengan GDP saja. Aris Ananta menegaskan, "Hidup bukan hanya soal Uang, tetapi juga kesehatan, keamanan, lingkungan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi."

Dalam tulisannya itu, Aris menyinggung pertumbuhan nasional dapat tinggi. Namun, apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tidak nyaman. Oleh sebab itu mengapa OCED, sebuah organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan kini menggunakan 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup.

Pemerintahan SBY

Bulan Juni akan meninggalkan kita, setelah itu kita akan memasuki bulan Juli. Setelah kita melewati bulan Juli maka tibalah bulan Agustus. Ada apa dengan Bulan Agustus? Apa spesialnya bulan ini?

Selain bulan ini adalah bulannya ummat Islam berpuasa (baca: Ramadhan). Di bulan ini, tepatnya 16 Agustus 2011 nanti, presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono akan melakukan Pidato Kenegaraan. Penulis sangat menunggu-nunggu pidato itu, penulis harap pembaca pun demikian.
   
Apa yang harus kita perhatikan dari pidato itu? Seperti dijabarkan di atas, kita harus perhatikan bagaimana pertumbuhan Indonesia selama pemerintahan KIB jilid II ini? Apakah presiden hanya mengukurnya dari pertumbuhan ekonomi (baca: uang) semata? Sementara masih banyak rakyat belum punya rumah, pembalakan hutan yang berujung moratorium.

Namun, mengutip Khalisah Khalid, Dewan Nasional Walhi, yang menulis, "Moratorium itu masih di Langit karena masih banyak masalah yang tak kunjung selesai salah satunya 'Mafia sektor Kehutanan'".  Ditambah lagi, pengangguran dan calon pengangguran yang diperkirakan juga bertambah.

Belum hilang lagi dari ingatan, kasus Ruyati yang jadi TKI di Saudi karena di negeri sendiri tak ada “lapak” lagi untuk mencukupi. Ujung-ujungnya TKI juga moratorium, sama dengan moratorium tebang hutan. Belakangan, ketua DPR Marzuki Ali mengusulkan moratorium penerimaan PNS. Negara moratorium?

Sesungguhnya mengukur pertumbuhan hanya dari perekonomian berarti melupakan beberapa ukuran yang sudah ditetapkan OCED. Maka bagaimana nasib pendidikan kita? Melanjutkan tradisi UN, yang “menekan” jiwa itu? Sampai takutnya sekolah dianggap gagal karena ukuran sekolah sukses adalah banyaknya siswa yang lulus. Keberhasilan sekolah tidak diukur dari seberapa kreatif siswanya, seberapa jujur, baik, santun, dan peduli dengan sekitarnya.

Lantas seperti kita ketahui belakangan ada Sekolah “membiarkan” contek massal. Berhasilkah pendidikan Kita? Ya, berhasil. Angka kelulusan memang meningkat, tapi...

Pemerintahan Mahasiswa (baca: BEM)

Banyak yang mengatakan nasib Indonesia masa depan ada di tangan pemuda. Salah satu elemen dalam pemuda (mahasiswa) adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Baru-baru ini, salah satu surat kabar nasional memberitakan bahwa BEM tak lagi diminati. Alasannya banyak. Mulai dari alasan manajemen waktu yang sulit, tugas menumpuk, terlambat lulus, dan lain sebagainya.

Kenapa BEM tak lagi diminati? Penulis melihat ada dua alasan, pertama ada ukuran yang keliru di dalam pendidikan tinggi kita. Salah satu ukuran yang lazim dibincangkan di kalangan mahasiswa adalah mengatakan mahasiswa terlambat lulus sebagai mahasiswa tidak atau belum berprestasi. Sekali lagi ukurannya selalu angka.

Kedua, BEM hanya fokus pada proker (program kerja) dan selalu begitu. Keberhasilan BEM diukur dari seberapa banyaknya program kerja yang telah dilaksanakannya. Bukan dari apakah program kerja itu berdampak besar bagi mahasiswa di kampusnya, masyarakatnya, dan lain-lain. Lalu apa bedanya dengan event organizer (EO) yang kerjaannya mengurusi “event” dan “proyek” itu?

Program kerja yang banyak dan belum berdampak itu membuat internalnya juga terganggu. Ujung-ujungnya membosankan karena tuntutannya adalah terlaksananya Program kerja agar dianggap sukses menjadi pemerintahan kampus. Berfokus pada program kerja membuat BEM jadi kaku. Anggaplah saat ini ada isu nasional yang hangat, kalau tidak ada dalam proker maka tidak akan ada diskusi-aksi di kampus.

Karya-karya ilmiah juga begitu, kesuksesannya hanya diukur dari apakah sudah melaksanakan pelatihannya? Bukan dari seberapa banyak orang yang terpacu “berkarya” setelah pelatihan itu. Titiknya adalah mana tindak lanjutnya? Alasannya selalu “kembali ke pribadi masing-masing”.

Antara SBY dan BEM

Kalau yang menjadi ukuran keberhasilan hanya GDP dan terlaksananya Program kerja, penulis khawatir kita akan terjebak di lembah “Retorika”. Benar, kelihatan hebat di podium membacakan keberhasilan-keberhasilan itu, penuh tepuk tangan meriah pengunjung (yang mayoritas anggota/kelompoknya sendiri).

Tapi apa kenyatannya juga begitu? Apa masyarakat merasakan sebenar-benarnya merasakan “kerja” pemerintahan itu? Atau ujung-ujungnya masyarakat harus mencari jalan keluar untuk hidupnya sendiri? Seperti Ruyati yang menjadi TKI dan “dibunuh” di Saudi?

Mari kita terus memperbaiki diri, berdoa untuk Indonesia dan pemuda yang lebih baik. Pemuda yang tidak menjual “ayat-ayat”-Nya dengan harga murah dan mengatakan apa yang tidak dilakukannya. Semoga!!

Febry Arisandi
mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
Jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan

sumber:okezone.com

Letter From DC: Obama Loses Another Battle, But Not The 2012 War
oleh: Endy M bayuni

They were both badly bruised, but US President Barack Obama came off worse in his latest political duel with the Republicans as they gear up for the 2012 elections in the United States.

Many of the President’s supporters were dismayed that he should cave in to the Republican Party demands to cut back on social spending as he and Congress struck a deal on Sunday to raise the debt ceiling of the federal government.

At a time when the economy is still struggling to get off the ground three years after its worst economic recession in seven decades, this deal may represent another blow for Obama in the lead-up to his 2012 reelection campaign.

His constituents on the left of the Democratic Party feel betrayed that he conceded yet another defeat to the Republicans that control the House of Representatives, but by striking the deal with Congress, Obama may have actually strengthened his hold of the middle ground while the Republican Party is moving further away from the center to the right of the US political spectrum.

Time will tell if this was a strategic defeat or whether Obama has really lost control of the direction of the US economy.

Ever since the Republicans routed the Democrats in the November 2010 elections on the back of a very conservative Tea Party agenda, and seized control of the House, they have forced Obama not only to back off from his plan to increase taxes on the wealthy and large corporations, but also to commit himself to huge cutbacks on spending.

The debt ceiling debate shows Washington politics at its worst and best.

While there was never any doubt that Obama and the Republican-controlled House would allow the government to default on its financial obligations, which was a likely prospect in the absence of a deal to raise the debt ceiling, their brinkmanship has polarized Washington so much to anger most Americans in the middle and to cause jitters on Wall Street and the global financial markets.

In the best of traditional Washington politics, the two sides did come to a compromise in the end, through a bipartisan deal worked out largely by senior politicians in the Senate.

A failure to increase the debt ceiling would have been a catastrophe, not only to the United States, but also to the global economy. Short of cash, the US government would have defaulted on some of its payments.

Think of the 80 million checks the federal government sends each month for the salaries of civil servants, military personnel, pensioners, to pay for healthcare costs, contractors and interest on government debts. In the event of a default, international ratings agencies would have immediately downgraded the credit-worthiness of the world’s largest economy and therefore of the US dollar, creating huge ripples throughout the rest of the world.

The US economy, however, was not the one at stake here, at least as far as Obama and the Republi-cans were concerned. Instead, the economy was the wager both sides were using for what is to them the biggest prize of all: the 2012 elections.

Obama is doing everything he can to get reelected, and the Republicans are similarly vigorous in their moves to deny him a second term. The economy, and economic policies, will be key issues in both parties’ campaigns.

Raising the debt ceiling was not so much the real issue in the debate as how to get there. The government had to obtain Congress permission to borrow beyond the previous US$14.3 trillion ceiling, and the Republicans seized the opportunity to impose their conservative agenda on the Obama administration.

In the final deal, which increased the debt ceiling by $2.4 trillion, the government must commit to reducing its budget deficit by an almost equal amount over the next 10 years. This reduction would come entirely from spending cuts, with not a cent from additional revenue. Obama cannot turn to taxpayers to plug the budget deficit.

Instead, the administration will have to slash spending on social programs, and quite possibly defense programs.

Obama’s only claim to victory from the deal is that the debt ceiling has been raised high enough to take the administration to 2013, sparing him from having to fight another battle with Republicans over the same issue six months down the road when he needs to focus on his reelection campaign.

As with most past US presidents bidding for a second term in office, how the economy performs will likely determine Obama’s political fate in 2012.

The bad news for Obama is that it has been almost all bad news this year, with economy barely picking up and the unemployment rate remaining at a high 9.2 percent. The good news for him is that he can now find a convenient scapegoat if the economy continues to perform poorly.

With the Republicans increasingly micromanaging federal government spending by using their clout in the House, Obama will happily share the blame with them for everything that goes wrong with the economy.

But if the economy improves in the coming months, he will claim all the credit, clearing the coast for him to remain in the White House until 2016.

It’s the economy, stupid, all over again. But who is the stupid one here? We’ll know in 2012.

The writer is a senior editor of The Jakarta Post and visiting fellow of the East-West Center in Washington.
sumber: the jakarta post


Rakyat Lewat kampus UGM Harus Bayar, dimana Roh "Kampus Kerakyatan"?

Universitas Gadjah Mada yang resmi berdiri 19 Desember 1949 sering disebut sebagai “kampus kerakyatan”. Itulah julukan yang sering kita dengar dan masih melekat dibenak kita. Rangkaian kata “kampus kerakyatan” tidaklah lahir begitu saja, tanpa ada historis dalam pemaknaan UGM secara kelembagaan sebagai kampus yang dilabelkan dengan julukan “kampus kerakyatan”.

      Kampus yang megah ini diresmikan oleh Bung Karno, yang pada saat itu berpidato dan beliau menegaskan bahwa “Bangunan ini dibangun dengan uang rakyat dan semestinya Universitas Gadjah Mada harus terus mengabdi untuk rakyat”. Selain itu kampus UGM didirikan diatas tanah (Sultan The Sultan Ground), yang esensinya dari tanah sultan menuju tanah rakyat.

      Sejak awal didirikannya, UGM selalu dekat dengan kehidupan Rakyat, mengabdikan keilmuannya untuk rakyat, membuka akses seluas-luasnya untuk rakyat dan berpihak pada rakyat. Banyak Guru-guru besar UGM yang mengabdikan dirinya untuk rakyat, contohnya Prof. Dr. Mubyarto, yang sangat terkenal dengan gagasan Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan. Hal ini tentu saja menjadikan UGM sangat dekat dengan kehidupan rakyat dan berpihak pada rakyat.

      Namun, semua itu kini seolah-olah telah luntur begitu saja. Lihat saja begitu tidak merakyatnya kampus ini, dengan mengisolasi dirinya. Saya dapat mengatakan demikian, karena UGM berusaha untuk menjaga jarak dengan rakyat. Menerapkan tarif Rp. 1000 bagi motor dan Rp. 2000 bagi mobil jika melintasi kawasan UGM tanpa memiliki KIK (Kartu Identitas Kendaraan) yang diterbitkan UGM bagi para Mahasiswa, dosen, karyawan dan mitra UGM, dengan dalih untuk membatasi akses publik yang tidak berkepentingan dikawasan UGM dan menjaga keamanan kampus.

      Bukankah selama ini kawasan UGM memang milik semua rakyat, yang dibangun dengan uang rakyat seperti kata Bung Karno dan dibangun diatas Tanah Sultan yang diperuntukan untuk rakyat, lalu mengapa akses publik ini dibatasi?

      Bukankah selama ini begitu harmonisnya kehidupan rakyat yang terjalin dengan UGM, seperti biasanya, pagi, siang, sore banyak sekali masyarakat berkendaraan yang hilir-mudik melintasi “kampus kerakyatan” itu. Tetapi sejak awal Tahun 2011 ini semua itu telah berubah, siapapun yang melintasi UGM jika tidak memiliki KIK harus dikenakan tarif. Tidak lebihnya seperti masuk ke wahana-wahan wisata, sperti masuk ke Borobudur dan Prambanan yang harus membayar biaya masuk. Berdasarkan pengamatan saya, hanya UGM lah kampus Di Jogjakarta yang menerapkan tarif masuk bagi masyarakat umum.

      Bagi masyarakat umum yang memasuki kawasan UGM tanpa memiliki KIK, tidak ubahnya sama seperti masuk ke dalam Mal atau Tempat Perbelanjaan. Jika kita memasuki kawasan perbelanjaan dengan menggunakan kendaraan bermotor, pasti kita akan dikenai tarif yang berlaku. Dalam kondisi seperti ini, tentu diantara kita tidak ada yang memprotesnya. Tetapi, ketika kita memasuki kawasan pendidikan atau kampus, apakah wajar  kita harus membayarnya. Jika dikaitakan dengan Tempat Perbelanjaan atau Mal, kita dapat memaklumi dan harus membayarnya, karena tempat itu merupkan sarana atau wahana bisnis. Tetapi, jika UGM yang merupakan sarana pendidikan menerapkan tarif berbayar, bukankah ini bentuk komersialisasi kampus. Atau jika tidak mau dikatakan komersialisasi kampus, mungkin lebih tepatnya dikatakan sebagai sarana pendidikan yang difungsikan sebagai sarana komesril.

      Mengutip data dari BEM KM UGM,  58 % mahasiswa menolak dengan penerapan KIK dan Portal Berbayar tersebut, 30 % kurang setuju dan hanya 8 % yang setuju. Selain itu, Pokja Akuntabilitas Pendidikan Tinggi (Pati), yang terdiri dari Forum LSM DIY, WALHI DIY, ICM, LBH Yogyakarta sudah melayangkan somasi atas pemberlakuan KIK dan portal berbayar tersebut terhadap pihak Rektorat UGM. Jika melihat kondisi seperti ini, sudah saatnya pihak pengelola UGM segera menghentikan kebijkan KIK dan Portal Berbayar ini. Penerapan kebijakan tersebut, bukan hanya menjauhkan UGM dari entitas kerakyatan tetapi malah menempatkan UGM sebagai kampus komersil.
-Kembalikan Kampus Kerakyatan- 
Penulis: Wandi Manullang, Mahasiswa Pascasarjana UGM.

sumber: pedomannews.com

Hikayat Inong Keude Kupi

Sangat tidak arif ketika saya membaca opini Azwardi (Serambi Indonesia, 27/04/211) dengan judul “Inong Bak Keude Kupi”. Azwardi beranggapan perangai kaum inong bak keude kupi telah mencederai spririt Kartini, seorang pahlawan perempuan yang diangung-angungkan di pulau Jawa.

Tak hanya itu, Azwardi melihat fenomena inong bak keude kupi hanya dari sudut negatifnya saja, dengan memberikan logika cerita sekelompok anak muda yang terdiri atas beberapa orang lelaki dan beberapa orang perempuan yang larut dengan suasana kebersamaan, dan menyandarkan dadanya di tepian meja serta merentangkan tangan ke bidang meja tanpa menghiraukan orang-orang sekelilingannya.

Dan sungguhlah tak arif dengan melihat fenomena itu, Azwardi memberikan kesimpulan bahwa kaum inong Aceh yang sering meluangkan waktu ke keude kupi (secara keseluruhan) telah lupa diri dengan nilai-nilai adat dan kebiasaan masyarakat Aceh dan nilai-nilai keislaman, dan bahkan menebarkan aib bagi keluarga yang bersangkutan

Menurut hemat saya, pergeseran adat kebiasaan dan nilai keislaman tidak semata-mata karena pengaruh kultur budaya dari luar, apalagi dengan menyalahkan pegiat-pegiat Non-goverment Organization (NGO) asing, pergeseran ini terjadi dalam diri pribadi manusia itu sendiri, manusia telah dianugerahkan akal dan pikiran untuk bisa menentukan secara bijak pola pikirannya yang sesuai dengan adat kebiasaan dan nilai ajaran islam masyarakat Aceh.

Teman-teman perempuan saya berdiskusi panjang lebar tentang opini tersebut di jejaring sosial facebook, mereka merasa terzalimi membaca opini yang provokatif itu. Mereka berpendapat, melihat suatu fenomena harus menserasikan antara keadaan positif dan negatif. Apalagi ini berkaitan dengan spirit perempuan. Mungkin saudara Azwardi tidak pernah melihat atau bahkan menutup mata saat ada sekelompok lelaki dan perempuan yang menjadikan warung kopi itu sebagai sarana informatif yang sangat murah mengakses layanan internet untuk keperluan pendidikan. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh juga menyediakan ruangan khusus sebagai musalla, dan ini sebagai wujud kesadaran pemilik warung kopi menjaga adat istiadat dan nilai-nilai ajaran islam di Aceh. Hal ini jarang kita temukan di warung kopi atau cafe di luar Aceh.

Lebih mirisnya lagi saudara Azwardi mencibir inong keude kupi dengan ucapan, “nyan inong cot; inong peukanjai bansa; nyan hana lam kamuh inong Aceh”, entah dari mana sumber kebenarannya yang menyebutkan perempuan warung kopi adalah sosok perempuan yang menjatuhkan martabat suatu bangsa. Tak hanya itu, saudara Azwardi kembali menguatkan argumennya dengan termilogi adat Aceh, perempuan itu adalah purumoh (orang rumah) yang secara kontektual aktifitas perempuan dibatasi.

Pandangan Azwardi tentang perempuan sebagai “purumoh” sangat bertolak belakang dengan spirit Cut Nyak Dhien. Walaupun Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama, dia menghabiskan masa hidupnya bergerilya ke hutan-hutan melawan penjajah Belanda. Beda halnya dengan Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa yang menghabiskan sisa hidupnya di kraton.

Sejarah juga mencatat, salah satu alasan Cut Nyak Ddien menerima lamaran Teuku Umar, lantaran Cut Nyak Dhien mempersilakannya untuk ikut serta bertempur di medan perang melawan Belanda ketika itu. ikut sertanya Cut Nyak Dhien selaku perempuan dalam pertempuran  membuat moral semangat pejuang Aceh semakin mengalir. Dan lewat sejarah inilah telah membuktikan keberadaan kaum perempuan Aceh bukanlah sebagai “purumoh” yang ditafsirkan selama ini.

Kembali ke Inong keude Kupi yang disebut-sebut kaum yang melawan kodratnya sebagai perempuan. Terlalu taklib jika kita menuduhnya seperti itu. Menurut para teolog Islam kodrat definisikan secara umum berasal dari kata qâdir yakni, apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya.

Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Kita tidak menyadari pada dasarnya kodrat itu muncul dari naluri manusia itu sendiri. Apa saja naluri itu? naluri itu sama hal yang telah dicontohkan oleh saudara Azwardi ketika ada inong keude kupi yang menjejerkan bahunya, nimbrung, mejeng, kongkow, ketawa-ketawa, dan ngakak. Dan apakah naluri ini tidak dimiliki oleh agam keude kupi? Tak sewajarnya jika kita cuma menyalahkan inong keude kupi saja, bukankah inong dan agam keude kopi sama-sama dianugerah naluri manusia oleh Allah SWT. Lihatlah kekurangan dan kelebihan seseorang itu sebagai pengalaman hidup, dan tidak ada makluk yang sempurna di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan kodrat-Nya.

* Penulis adalah alumnus Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.


Brain Washing dan Runtuhnya Kohesifitas pancasila

GEGER wacana brain washing (cuci otak) hari-hari ini menghiasi pemberitaan sejumlah besar media lokal dan nasional. Tidak tanggung-tanggung, sebagian besar korban berasal dari kalangan kampus, baik mahasiswa aktif maupun alumni (sarjana). Para korban yang kemudian teridentifikasi terlibat dalam aksi terorisme, diduga telah menjadi korban brain washing oleh Negara Islam Indonesia (NII).

Kecurigaan aparat keamanan terhadap jaringan NII menguat pasca meledaknya bom bunuh diri yang terjadi di Masjid Adz Zikro, Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/4/2011) lalu. Dari hasil pengembangan kepolisian, sejumlah terduga teroris digelandang densus 88. Para terduga (yang sebagian berubah status menjadi tersangka) akhirnya bernyanyi.

Penyelisikan dan pengembangan lebih dalam, baik oleh aparat maupun pengamat, mengindikasikan adanya keterlibatan NII, sebagaimana yang diutarakan pengamat terorisme Mardigu WP. Menurut Mardigu, dilihat dari pola sasarannya, ledakan bom di Mapolresta Cirebon identik dengan pola sasaran NII atau DI/TII yang selama ini selalu menyerang aparat negara. Doktrin NII yang menghalalkan harta dan nyawa orang di luar NII menjadi kerangka aksi mereka.

Lebih jauh, bersamaan dengan kasus bom Cirebon, di beberapa kampus juga terjadi kasus brain washing yang mengorbankan sejumlah mahasiswa. Sebutlah misalnya 15 orang korban dari Kota Malang. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, sebanyak 13 orang, dan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) dua orang. Selain itu, dari hasil penyelidikan mahasiswa kampus-kampus besar seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menjadi incaran NII.

Sementara itu, 10 mahasiswi di Medan, Sumatra Utara (Sumut) juga dilaporkan hilang. Mahasiswi yang hilang tersebut meresahkan para orangtua mereka, diduga menjadi korban yang direkrut kelompok NII. Sebagian besar mahasiswi tersebut berasal dari luar kota Medan.

Kekosongan faham keagamaan dan aktifitas di kampus menjadi celah bagi agen-agen NII melakukan rekrutmen sebagai bagian dari proses transmisi dan regenerasi. Maka tak heran jika aksi kekerasan dengan membajak agama tak pernah usai walau kepolisian secara aktif menangkap bahkan menembak mati pelaku-pelaku yang diidentifikasi sebagai teroris.

Gurita NII yang sekaligus menjadi ancaman ini, akhirnya menjadi stimulus bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mawas diri. Secara aksiomatik, berbagai pilihan dapat dilakukan sebagai langkah prefentif. Dari peningkatan kualitas pendidiakn keagamaan, hingga menambah intensitas aktivitas akademik dan ekstra akademik mahasiswa. Hal ini tentu harus mendapat support system dari pemerintah sebagai operator pelaksana pendidikan.

NII Dimanfaatkan

Daya tarik Pancasila sebagai mainstream kebangsaan yang menjadi medium harmonisasi, sejatinya harus bertahan di tengah semakin memuncaknya krisis kepemimpinan yang secara absolut memiliki tugas untuk mereduksi segala potensi konflik dan kekerasan. Namun apa lacur, jika pemimpin toh abai dan lemah di hadapan kekuasaan?

Hal ini terbaca dari telah melembaganya NII melalui Pondok Pesantren AL Zaytun, yang juga ditengarai sebagai basis legal NII KW9. Panji Gumilang, pemimpin AL Zaytun, ternyata memiliki hubungan panjang dengan pemerintah dan intelijen. Di era Soeharto (baca: Orde Baru), intelijen sengaja memelihara NII untuk disusupi.

Pemimpin Al Zaytun ini, juga menjabat sebagai pemimpin Tentara Islam Indonesia (TII), dan mendapat bantuan dari militer era Soeharto. Kedok kedekatan Panji dan militer, antara lain untuk mengamankan negara. Dengan demikian, secara emosional Panji dan militer sangat dekat. Ada hubungan emosional antara Panji Gumilang dengan TNI dan intelijen. Panji Gumilang adalah orang lama. Hal ini diuangkap oleh AM Fatwa, Anggota DPD RI dan Mantan Wakil Ketua MPR.

Bahkan sejak 2002, MUI telah melaporkan hasil investigasi perihal penyimpangan NII ke pada Polri. Namun hingga kini, saat kerusakan yang ditimbulkan semakin besar, barulah Polri ketar-ketir dan seolah-olah “sibuk”.

Selain itu, NII juga memiliki harta kekayaan melimpah. Bekas Menteri Peningkatan Produksi Negara Islam Indonesia (NII), Imam Supriyanto membenarkan adanya simpanan kelompok itu di Bank Century, kini jadi Bank Mutiara.

Jangan-jangan memang NII adalah simpanan dan peliharaan? Sengaja dibesar-besarkan saat dibutuhkan oleh penguasa? Jika terus dipelihara, gurita NII akan menjadi bom waktu yang mencerai beraikan harmonisasi kebangsaan kita. Termasuk menjadi boomerang bagi pemerintah.

Kohesifitas Sosial
Fakta gurita NII tersebut di atas, menjadi instrumen betapa kohesifitas sosial yang mengharmonisasi masyarakat kita, telah runtuh. Catatan panjang kekerasan sosial yang membajak agama, menjadi rangakaian noktah hitam pola-pola interaksi sosial masyarakat kita. Kebanggaan sebagai bangsa yang padu dengan semangat gotong royong, kebhinekaan dan pluralitas menjadi sirna, tereduksi oleh kontraksi sosial yang keluar dari demarkasi normatif tersebut. Akhirnya, kekerasan menjadi bahasa sosial dalam pola-pola interaksi kemajemukan.

Jika kita telusuri dari perspektif historis, menurut Henk Schulte Norholt, geneologi kekerasan sesungguhnya sudah ada sejak berabad silam. Karakter dan benih kekerasan secara mekanistik terbentuk dari trauma sejarah (historycal traumatic) akibat penjajahan dan imperialisme. Inilah bagian yang disebut oleh Norholt sebagai rezim yang mewariskan ketakutan dan violence of power structur atau kekerasan negara.

Seiring transformasi Indonesia menjadi negara merdeka dengan nilai-nilai kebhinekaan sebagai perekat heterogenitas, maka kekerasan perlahan berhasil direduksi. Setidaknya pada masa awal kemerdekaan. Namun seiring dinamika politik sebagai bagian kontraksi sosial, benih-benih kekerasan lintas ideologi mulai bersemi.

Realitas ini tidak terlepas dari efek globalisasi dan makin lunturnya nilai lokalitas sebagai identitas kebangsaan. Ada tren faktual, bahwa generasi muda lebih bangga pada nilai-nilai impor ketimbang mozaik dan khazanah kearifan lokal. Fakta ini dipertegas oleh survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) beberapa hari lalu, bahwa 25,8 persen generasi muda dari kalangan pelajar di Jakarta, menilai Pancasila tidak lagi relevan menjadi dasar negara.

Banyak variabel yang kemudian menjadi stimulus munculnya gejala-gelaja sosial, yang disebut oleh Fritjop Chapra sebagai social pathology (patologi sosial). Di dalam bukunya The Turning Point, Chapra meretriksi patologi sosial tersebut ke dalam dua subsektor.

Pertama, dari sektor ekonomi. Kekerasan diyakini lahir akibat keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan. Motif ekonomi ini sejalan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow.

Bagi Maslow, basic needs (kebutuhan dasar) akan mendorong orang melakukan apa saja demi mempertahankan eksistensi. Terpenuhinya basic needs menjamin tingkat security and safety (keamanan dan keselamatan), untuk survive dan mencapai kebutuhan-kebutuhan selanjutnya yang bertingkat.

Kedua, dari sektor budaya. Struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan kekerasan, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa alienasi (keterasingan) dan mental ketertinggalan. Sejarawan Arnold Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya.

Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Dinamika sosial ini, menyebabkan friksi sosial budaya yang pada akhirnya melahirkan dua kutub kelompok masyarakat yang paradoks. Masyarakat radikal dan liberal. Tafsir-tafsir agama sering kali dibajak dan menjadi alat legitimasi untuk melancarkan aksi yang dikontruksi dari kekakuan logika kebudayaan, melengkapi patologis sehingga berfusi dalam mainstream kekerasan dengan jaringan global yang teralienasi dari masyarakat.

Melihat akar historis yang secara mekanistik membentuk potensi dan karakter kekerasan -termasuk juga pernah direkatkan oleh nilai-nilai Pancasila-, maka langkah revitalisasi sebagai wujud penanaman nilai-nilai kebhinekaan menjadi modal dasar interaksi sosial kita pada tahap selanjutnya.

Fitrah khazanah keluhuran Pancasila yang fleksibel dan akomodatif sebagai blue print gagasan kebangsaan, baik dalam pola kausalistik dalam pencapaian visi, didesain untuk mampu mengeliminasi tekanan-tekanan akibat kontraksi sosial tersebut.

Jusman DalleKetua Dept. Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Daerah Makassar 2009/2011


Calon Presiden Jalur Nonpartai

WALAU tidak baru, gagasan ini sudah saatnya disokong. Dewan Perwakilan Daerah pekan lalu melontarkan ide calon presiden perseorangan. Seseorang bisa menjadi kandidat RI-1 tanpa melalui jalur partai politik. DPD lalu menuangkannya dalam paket perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945. Jika mendapat dukungan memadai-dan seharusnya memang begitu-usul ini bakal dibahas di Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Agustus mendatang.

Sejauh ini reaksi publik terbelah. Mereka yang setuju menyambut gagasan calon presiden independen sebagai angin segar di tengah kesumpekan politik di negeri ini. Hampir setiap pekan kita mendengar dan menyaksikan skandal demi skandal yang melibatkan politikus dari berbagai partai. Ada saja wakil rakyat yang bikin berita miring: mulai terjerat kasus suap sampai kepergok menikmati video porno di sela sidang paripurna. Tak aneh jika di mata banyak orang, wajah partai sudah demikian coreng-moreng.

Yang tak setuju tentu juga punya alasan. Banyak yang khawatir presiden tanpa basis partai bisa dijadikan bulan-bulanan di parlemen". Tanpa dukungan Dewan Perwakilan Rakyat, roda pemerintahan bisa macet. Semua usul anggaran dan rancangan undang-undang dimentahkan atau bahkan disabot di Senayan. Dampaknya bisa gawat: pemimpin tak efektif, negara tak stabil, dan rakyatlah yang akhirnya merugi.

Calon presiden perseorangan tak boleh dipandang sebagai ancaman buat partai politik. Justru kehadirannya bisa memaksa" partai lebih peka menangkap aspirasi rakyat. Karena itulah, di banyak negara demokrasi, ada tradisi konvensi dan pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon presiden dari partai. Hakikatnya, partai sebisa mungkin tidak memonopoli proses pemilihan. Dengan begitu, kesan adanya oligarki pun bisa ditepis.

Oligarki partai politik berbahaya untuk demokrasi. Rakyat jadi terpinggirkan dan lama-kelamaan terputus dari proses politik yang kian elitis. Tidak usah jauh-jauh. Pemilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta pada 2007 mengirim pesan penting. Ketika itu, sejumlah partai politik sepakat berkolaborasi sehingga hanya muncul dua calon gubernur. Adang Daradjatun, yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera, berhadapan dengan Fauzi Bowo, yang diusung belasan partai politik lain.

Skenario politik pendukung Fauzi memang berjalan mulus. Dia menang dengan 57,9 persen suara. Tapi, yang sering luput dicatat, lebih dari 36 persen warga Jakarta tidak datang ke bilik suara pada hari pemilihan. Mereka �golput" dengan pelbagai alasan, termasuk kurang cocok dengan kandidat yang disodorkan partai. Total jumlahnya sampai 1,9 juta orang-angka tak sedikit, yang tak boleh dipandang dengan sebelah mata.

Keberadaan calon presiden perseorangan akan mengurangi risiko macam itu. Kemungkinan munculnya apatisme politik rakyat bisa dikurangi. Pemilihan umum pun menjadi lebih bermakna, bukan sekadar alat melegitimasi siapa pun yang disodorkan elite partai.

Tentu saja persyaratan menjadi calon perseorangan tak boleh dibikin sangat longgar. Jangan ada yang melenggang meski tak punya basis massa pendukung. Mereka kudu didukung sedikitnya sekian juta konstituen yang berasal dari minimal, katakanlah, sepuluh provinsi. Ini harus dibuktikan dengan tanda tangan yang dilampiri kartu penduduk. Jangan juga membuat kandidat dengan kantong tebal saja yang bisa masuk dari jalur nonpartai ini.

Tantangannya justru bagaimana mengegolkan usul amendemen konstitusi ini. Apalagi bolanya kini ada di kaki partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka bisa membuka babak baru demokrasi jika meloloskan agenda ini. Kesempatan bersejarah macam ini jarang datang dua kali.