Kamis, 25 Agustus 2011

Masyarakat Sipil Protes Danrem Lilawangsa Mediator Lhokseuamawe

ACEH MINUTES] Banda Aceh- Permohonan menjadi mediator oleh Munir Usman, Walikota Lhokseumawe, pada Kolonel Inf Deni K Irawan, Danrem 011/Lilawangsa, dalam sengketa aset daerah dengan Aceh Utara, menuai protes sejumlah kelompok masyarakat sipil.
KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan GeRAK Aceh mendesak Walikota Lhokseumawe, menghentikan pelibatan TNI dalam penyelesaian masalah dalam pemerintahan sipil.

“Sebagai orang yang terpilih melalui proses demokrasi, walikota harusnya menjadi pemegang kontrol atas militer dan bukan sebaliknya. Apalagi menarik-narik militer dalam masalah tata kelola pemerintahan sipil,” jelas Hendra Fadli, SH Koordinator KontraS Aceh, Rabu (24/8/11).

Tiga lembaga tersebut juga meminta Danrem 011/Lilawangsa untuk menolak secara tegas segala pelibatan TNI diluar agenda pertahanan negara. Selain itu, meminta semua pihak konsisten dengan Undang-Undang dan peraturan yang telah ada, serta terus mendorong reformasi TNI dengan menempatkan TNI pada posisinya sebagai alat pertahanan negara.

Tindakan Walikota Lhokseumawe juga dinilai tidak sesuai Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Seharusnya mediatornya Gubernur Aceh, sebab kedudukannya sebagai wakil pemerintah,” kata Hayatuddin, Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh.

Hayatuddin menegaskan, selain gubernur pihak yang dapat menjadi mediator dari Kementrian Dalam Negeri. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah jo Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Hospinovizal Sabri, SH Direktur LBH Banda Aceh, menyatakan peran TNI sebagai alat negara bidang pertahanan, itu sesuai pasal 5 Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI. “Semua pihak termasuk pemerintah seharus mendorong reformasi TNI, bukan justeru melibatkannya dalam agenda politik dan pemerintahan,” tegasnya.

Hospinovizal menambahkan, tugas pokok TNI menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. “Salah satu fungsinya, penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri, jadi, tindakan Walikota Lhokseumawe itu keliru,” jelasnya.

Nomor : Istimewa
Lamp. : -
Hal : Protes Pelibatan Danrem Lilawangsa sebagai Penengah dalam Penyelesaian Sengketa Aset Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe
Kepada Yth.
Bapak Munir Usman
Walikota Lhokseumawe
di-
di Lhokseumawe

Dengan Hormat,
Bersama dengan ini kami sampaikan:
Bahwa pada tahun 2001 Kota Lhokseumawe berdiri dan mekar dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Aceh Utara berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe.
Bahwa pemekaran Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara telah menyebabkan terjadinya konflik mengenai aset pemerintah daerah.
Bahwa berdasarkan dasar hukum pembentukan Kota Lhokseumawe, semua aset kabupaten induk yang berada di daerah pemekaran harus diserahkan kepada daerah baru guna kelancaran pemerintahan.
Bahwa sejak pemekaran Kota Lhokseumawe dari Kabupaten Aceh Utara masalah aset merupakan permasalahan yang belum utntas sampai dengan saat ini.
Bahwa puncak konflik aset antara Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe adalah pembongkaran paksa proyek pembangunan gedung Dinas Pekerjaan Umum dan Bappeda Kota Lhokseumawe di Lapangan Reklamasi Pusong, Desa Mongeudong, Lhokseumawe, yang dibangun di lahan yang sampai saat ini masih di klaim sebagai milik Pemkab Aceh Utara.
Bahwa akibat ketegangan tersebut Wali Kota Lhokseumawe, Munir Usman meminta bantuan Komandan Korem-011/Lilawangsa, Kolonel Inf Deni K Irawan menjadi penengah dalam pertemuan menyelesaikan konflik asset daerah, permohonan ini disampaikan oleh walikota pada pertemuan audiensi dengan Danrem pada tanggal 22 Agustus 2011.
Bahwa pelibatan TNI sebagai mediator merupakan hal yang berada diluar tugas poko dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

Berdasarkan fakta yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan hukum bahwa:
Pelibatan TNI sebagai mediator merupakan hal yang berada diluar peran, tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
TNI selaku alat pertahanan negara memiliki jati diri sebagai tentara rakyat, tentara perjuang, tentara nasional dan tentara professional. Tentara professional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi sesuai dengan pasal 2 huruf d Undang-Undang No. 34 Tahun 2004.
Pasal 5 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: a. penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b. penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan c. pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh seharusnya yang bertindak sebagai mediator dalam persoalan konflik aset antara Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara adalah Gubernur sebagai kedudukannya sebagai wakil pemerintah.
Bahwa persoalan otonomi daerah adalah persoalan pemerintahan sipil dimana kewenangannya berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri sehingga berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah jo Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka pihak yang juga dapat menjadi penegah dalam persoalan ini adalah Kementrian Dalam Negeri.

Berdasarkan fakta dan kesimpulan hukum di atas, maka kami dari KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan GeRAK Aceh mendesak:
Kepada Walikota Lhokseumawe untuk menghentikan pelibatan TNI dalam penyelesaian masalah-masalah dalam pemerintahan sipil. Sebagai orang yang terpilih melalui proses demokrasi, walikota harusnya menjadi pemegang kontrol atas militer dan bukan sebaliknya. Apalagi menarik-narik militer dalam masalah tata kelola pemerintahan sipil.
Kepada Danrem 011/Lilawangsa untuk menolak secara tegas segala pelibatan TNI diluar agenda pertahanan negara.
Kepada semua pihak untuk konsisten dengan Undang-Undang dan peraturan yang telah ada serta terus mendorong reformasi TNI dengan menempatkan TNI pada posisinya sebagai alat pertahanan negara.

Demikian surat ini kami sampaikan.

Banda Aceh, 24 Agustus 2011
KontraS Aceh LBH Banda Aceh GeRAK Aceh

Hendra Fadli, SH Hospinovizal Sabri, SH Hayatuddin
Koordinator Direktur Kepala Divisi Advokasi Korupsi

Tembusan:
1. Komisi II Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah DPR RI di Jakarta
2. Komisi I Kelompok Kerja Pertahanan DPR RI di Jakarta
3. Menteri Dalam Negeri di Jakarta
4. Menteri Pertahanan di Jakarta
5. Panglima TNI di Jakarta
6. Kepala Staf TNI Angkatan Darat di Jakarta
7. Gubernur Aceh di Banda Aceh
8. Ketua DPR Aceh di Banda Aceh
9. Panglima KODAM Iskandar Muda di Banda Aceh
10. Bupati Aceh Utara di Lhokseumawe
11. Ketua DPRK Lhokseumawe di Lhokseumawe
12. Ketua DPRK Aceh Utara di Lhokseumawe
13. Danrem 011/Lilawangsa di Lhokseumawe
14. LSM Nasional dan Internasional
15. Pers
16. Arsip
Sumber KontraS Aceh