Rabu, 24 Agustus 2011

Ternyata Pengibar Bendera Pusaka Bukan Ilyas Karim

Ilyas Karim. dok RCTI
ACEH MINUTES] JAKARTA - Pada 13 September 2008, Julius Pour, wartawan dan juga penulis biografi, menulis artikel menarik di Kompas dengan judul “History, His Story atau Sekadar Sorry”. Dalam artikel itu, Julius menceritakan pengalamannya ketika diminta Gramedia Pustaka Utama memberi komentar soal buku mengenai kisah pengalaman Soebandrio yang disusun berdasarkan hasil wawancara seorang wartawan.

Intinya, Julis mengatakan, kisah dalam buku itu tidak masuk akal sampai akhirnya Gramedia memutuskan tidak mengedarkan 5000 eksamplar buku yang terlanjur dicetak.

Julius juga mengkritik pengakuan Andaryoko Wisnuprabu (88) dari Semarang yang mengaku dirinya Shodancho Supriyadi, pemimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar. Pengakuan Andaryoko juga muncul pada bulan Agustus, jelang peringatan hari proklamasi kemerdekaan RI. Menurut Julius, Wisnuprabu alias Supriyadi bagaikan man for all seasons, hadir di setiap tempat dan segala waktu, sangatlah tak masuk akal.

Pada akhirnya, mengutip sejarawan terkemuka dari Universitas Gadjah Mada (Alm) Prof Dr Sartono Kartodirdjo, Julius mengatakan”… kita harus kritis dalam melakukan wawancara. Kita bukan alat perekam yang akan menelan apa saja omongan orang dan setelah itu ikut menyebar kabar bohong. Kita ingin menulis history, bukan his story atau malahan terjebak dalam sorry….”

Kini kritik Julius itu agaknya terulang kembali setelah wartawan, lagi-lagi menelan bulat-bulat omongan Ilyas Karim, seseorang yang mengaku sebagai laki-laki bercelana pendek pada foto pengibaran Sang Saka Merah Putih pertama kali, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta. Pengakuan Ilyas, entah mengapa juga muncul jelang 17 Agustus, sama seperti Andaryoko.

Belakangan, berdasarkan dokumen sejarah yang diteliti Fadli Zon, pengakuan Ilyas sangat kuat dugaan bohong belaka. Namanya sama sekali tak pernah tercatat dalam dokumen sejarah termasuk keterangan dalam foto pengibaran Sang Saka Merah Putih yang tersimpan di Museum Joang 45. Demikian juga dengan dokumen penjelasan di Sekretariat Negara.

Dalam tulisan berjudul “Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945”, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum menulis, laki-laki bercelana pendek yang mengibarkan bendera pusaka adalah Suhud, bukan Ilyas Karim. Hal ini sama dengan penjelasan Fadli Zon sebagaiana dikutip sejumlah media di Jakarta.

Pengibaran bendera pusaka jahitan Ibu Negara Fatmawati sendiri dilakukan sesaat setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi. Dalam artikelnya, Dadan menulis:

“Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.”

“Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: " lebih baik seorang prajurit ," katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.

Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.”

Kini, peringatan Sartono seperti dikutip Julius kembali bergema. Sejauh mana wartawan mengkritisi pengakuan Ilyas Karim ketika wawancara? Apakah pengakuan yang menyangkut sejarah amat penting negeri ini sudah diverifikasi? Sumber okezone.com