Rabu, 24 Agustus 2011

Ketika Tentara Main Tanah


Sumber JeJAK
ACEH MINUTES] Pria itu merampas hand phone dari tangan Syahruddin. Lalu mengancam, “saya sudah perintahkan kamu mengosongkan rumah ini, tapi tidak kamu kosongkan, jadi sekarang saya tangkap saja kamu,” kata anggota TNI AL itu. Ia tidak sendirian, sedikitnya 20 personil mengendarai sebuah truk dan sedan menyerbu rumah warga Desa Aneuk Laot, Kecamatan Sukakarya, Sabang, 14 Juni 2010.

Syahruddin tidak ciut nyali. Ia mengambil surat tanah, membuktikan tanah yang ditempati milik keluarganya. Tapi anggota TNI AL tidak peduli. Pria kelahiran 37 tahun silam itu, lantas memilih pergi. Namun aparat malah menyergap. Tak hanya itu, tapi juga memukul dan mendaratkan senjata ke wajahnya.

Penyiksaan berlangsung tak kurang 30 menit, sebelum ia dibawa ke Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) untuk     diperiksa. Saat pemukulan, sebagian personil TNI AL                  mengangkut barang-barang milik Syahruddin ke dalam truk dan menghancurkan rumahnya dengan martil. 

Syahruddin tak sembarang menguasai tanah seluas 5 hektar yang bersengketa. Ia membangun rumah berdasarkan sertifikat hak pakai nomor 11 tahun 1994. Sementara akta jual-beli tanah sudah dimiliki sejak 1979. Namun TNI AL menyuratinya 2 Juni 2010, isinya meminta pengosongan tanah.
Kolonel Laut Ir Paruntungan G, Sekretaris Dinas (Sekdis) Penerangan Angkatan Laut, lewat surat pembaca di Koran Tempo edisi 25 Juni 2010 membantah. Menurutnya 14 April 1986, Komandan Pangkalan TNI AL Sabang mengizinkan Tengku Abd. Rani Asyik (orang tua Syahruddin) mengunakan tanah milik TNI AL seluas 2,5 hektar dengan syarat tidak membangun rumah dan usaha lain yang merusak lingkungan. “Memang benar telah dilaksanakan eksekusi pembongkaran rumah,” tulisnya.

TNI AL kukuh pemilik sah tanah berdasarkan sertifikat hak pakai dari Badan Pertanahan Nasional Kodya Sabang nomor 11 tanggal 6 Juli 1994. Sebelum eksekusi, Lanal sudah menunggu waktu pelaksanaan pertemuan yang akan dimediasi DPRD Sabang. 7 Juni 2010 Lanal Sabang      mengirim surat pada Ketua DPRD Sabang berisi pemberitahuan penundaan eksekusi tanah hanya lima hari. “Sampai 13 Juni 2010 tidak ada tanggapan DPRD, maka 14 Juni 2010 pukul 09.00 WIB dilaksanakan eksekusi,” tulis Paruntungan.

Atas dalih apapun, pembongkaran paksa dan penganiayaan yang dilakukan oknum TNI AL jelas tindak pidana.  Pasal 353 (1) dan pasal 170 KUH Pidana dilangar, ancamannya penjara di atas lima tahun lebih.
TNI AL tidak punya kuasa eksekusi atas tanah tersebut, walau mengklaim memiliki sertifikat tanah tahun 1994    dengan hak pengelolaan. Pasalnya, Syahruddin juga memiliki akte jual angkat terbit tahun 1979. Dalam hukum perdata, Syahruddin subjek hukum orang dan TNI AL subjek hukum badan hukum publik haknya sama. 
Seharusnya TNI AL melakukan gugatan perdata, jika mengakui Indonesia negara hukum sesuai pasal 1865 KUHPerdata, setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.”
Eksekusi perkara perdata dilakukan juru sita pengadilan negeri. TNI AL tidak punya wewenang, sebab bukan lembaga keamanan melainkan institusi pertahanan. Ini diatur dalam Undang-undang No 34 tahun 2004 tentang TNI. 
Pasal 6 ayat (1) mengatur tentang TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai; a. penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b. penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan c. pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Dan di ayat 2 tersebut juga tidak mengatur tentang tugas untuk menghancurkan dan melakukan klaim terhadap tanah yang    dipersengketakan tersebut.

Atas tindak kekerasan dan disertai penghancuran rumah dan klaim kepemilikan tanah, akhirnya Syahruddin melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM perwakilan Aceh. Komnas HAM lantas meminta penjelasan Komandan Pangkalan Utama TNI AL I yang membawahi Pangkalan TNI AL Sabang. 
Berkenaan dengan kasus serobot tanah, ternyata tak hanya Syahruddin korbannya. Syukri, 38 tahun, juga mengalaminya. Tapi ia beruntung tidak mendapat kekerasan. Syukri juga melaporkan kasus klaim tanah ke Komnas HAM Perwakilan Aceh, pada 15 Maret 2011.
Pihak Komnas HAM Aceh menjelaskan penyelesaian sengketa tanah Syahruddin dan Syukri sedang dalam pembahasan di Komnas HAM Jakarta. Kasus Syahruddin menjadi pintu masuk dalam penyelesaian kasus tanah lainnya di Sabang.
 Dalam pertemuan dengan Komnas HAM, Syahruddin meluapkan harapan agar kasusnya cepat ditangani. Setahun sudah ia menunggu kepastian hukum. Sayangnya, tanda-tanda penyelesaian belum terlihat. Semoga ujung cerita, nasibnya tak serupa rumahnya; porak-poranda. Sumber JeJAK