Minggu, 28 Agustus 2011

My Name Is Khan dan Film '?'

ACEH MINUTES] Jakarta, Keinginan masyarakat untuk melihat Film '?' pada malam Lebaran di SCTV akhirnya tidak kesampaian, dan mungkin ditunda dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Batalnya pemutaran film tersebut karena pihak SCTV didatangi oleh sekitar seratus orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI). Karena organisasi itu dalam bersikap sering menggunakan tindakan kekerasan, dengan terpaksa SCTV mengalah.

Tuntutan FPI terhadap film itu, bukan pertama kalinya dilakukan. Pada beberapa bulan yang lalu, organisasi itu juga melakukan protes atas tayangan pemutaran perdananya di bioskop. Protes yang dilakukan oleh FPI dengan cara mendatangi pihak yang dirasa sebagai produser film '?', yakni Mahaka Pictures, Dapur Film, dan Republika.

Mengapa FPI memprotes film garapan Hanung Bramantyo itu? FPI merasa gerah dengan film itu sebab film itu menceritakan soal pluralisme, bukan pluralitas, di mana dalam masalah beragama bisa dicampuradukan, bahkan menampilkan sebuah kebiasaan yang selama ini mungkin tidak pernah terjadi, seperti Menuk (Revalina S Temat) seorang gadis yang taat beribadah dan memakai jilbab, namun menjadi panitia acara Paskah.

Kemudian Surya (Agus Kuncoro) seorang pemuda yang kadang bertingkah seperti santri, kadang seperti abangan, ketika ditawari Rika (Endhita), seorang Muslim namun murtad menjadi seorang Katolik dengan nama baptis Theresia, bersedia menjadi pemeran Jesus saat pementasan drama penyaliban Jesus pada acara Paskah. Dalam film itu, klimaksnya diceritakan di tengah sebuah acara pementasan drama, Sholeh (Reza Rahadian) seorang anggota Banser, underbow organisasi Islam NU, yang tengah ikut menjaga keamanan bersama dengan polisi menemukan sebuah bingkisan bom di bawah kursi jemaat gereja, untung ia berhasil mengamankan bom itu sehingga jemaat gereja selamat dari ledakan bom, namun diri Sholeh tewas dengan bom yang dipeluknya itu.

Intinya dalam film tersebut adalah awalnya agama sumber konflik, namun setelah berproses, agama adalah damai, pindah agama adalah suatu hal yang biasa, dan perbedaan agama tidak menjadi masalah. Hanung Bramantyo menyampaikan pesan pada film itu adalah perlunya toleransi dalam kehidupan beragama.

Secara tegas Ketua FPI Jakarta, Habib Salim Alatas, menolak film '?' karena menggambarkan umat Islam itu bengis dan jahat. Ada adegan orang Islam merusak restoran China, lalu pendeta ditusuk dan gereja dibom.

Mengapa Hanung Bramantyo sendiri membuat film itu? Ada dua kemungkinan. Pertama, respons Hanung Bramantyo terhadap kondisi masyarakat saat itu di mana sering kali terjadi kekerasan atas nama agama. Orang menganiaya dan merusak tempat ibadah ummat yang lain dengan mengatasnamakan agama. Untuk mencegah hal demikian, maka Hanung Bramantyo dengan filmnya menyampaikan pesan agar masyarakat menghentikan kekerasan atas nama agama dengan hidup penuh toleransi dan tenggang rasa dengan ummat lainnya.

Kedua, bisa saja Hanung Bramantyo terinspirasi film Bollywood yang berjudul My Name is Khan. Film yang disponsori oleh salah satu perusahaan negara Timur Tengah yang dibintangi oleh Sahrul Khan dan Kajool Devgan itu menceritakan lingkungan Rizwan (Sharul Khan), ketika masih kecil yang penuh konflik antaragama, Islam dan Hindhu. Singkat cerita, Rizwan yang tinggal di Amerika Serikat menikah dengan Mandira (Kajool). Meski beda agama, Rizwan beragama Islam dan Mandira beragama Hindu, namun itu bukan halangan.

Dalam perjalanan bahtera keluarga, berbagai konflik muncul akibat pernikahan itu, apalagi setting film itu menggambarkan keadaan Amerika Serikat pasca serangan 9/11, di mana terjadi tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap ummat Islam yang tinggal di Amerika Serikat.

Namun karena perjuangan Rizwan yang tak mengenal lelah untuk memperjuangkan keadilan, ia mendapat perhatian dari 'Presiden Obama'. Dalam film itu pun Rizwan bersama ummat Islam lainnya membantu sekelompok umat Kristen yang tengah dilanda bencana.
 
Film My Name Is Khan rupanya mengalami nasib yang sama dengan film '?' walau film itu sukses dengan meraup untung US$ 1,4 juta, namun film itu mendapat protes dari kelompok fundamentalis Hindu. Fundamentalis Hindhu mendemo dengan menurunkan poster dan melempari bioskop yang memutar film tersebut. Fundamentalis Hindu memboikot film tersebut karena ceritanya menyinggung SARA dan anti Pakistan.

Dari kedua film tersebut kita bisa melihat bahwa kaum fundamentalis secara nyata dan di dalam film itu ada pada semua agama. Baik dalam film My Name Is Khan maupun film '?' diceritakan di masing-masing agama ada kelompok fundamentalis. Dalam Film '?' misalnya, ketika Surya hendak memainkan peran Jesus ia ditentang oleh beberapa kelompok jemaat gereja. Demikian pulan dalam film My Name Is Khan, sikap toleransi Rizwan rupanya tidak disukai oleh kelompok Islam fundamentalis Islam sehingga ia berusaha untuk dibunuh. Sedang dalam kenyataan film '?' dan My Name Is Khan ditentang oleh kelompok-kelompok fundamentalis. 

Mengkampanyekan sikap toleransi dan perdamaian sepertinya tidak mudah. Ini bisa terjadi karena adanya pemahaman yang kaku dan tidak melihat inti ceritanya namun hanya mengambil apa yang terjadi di gambar-gambar film itu. Bila kita memahami secara jernih, ada pesan-pesan yang mulia, bahwa meski ada kelompok fundamentalis juga ada kelompok yang toleran, misalnya dalam film '?', Tan Kat Sun (Henky Soelaiman), seorang Tionghoa pemilik restoran sangat toleran kepada pegawainya yang beragama Islam, bahkan alat masaknya antara yang berbau babi dan bukan dipisahkan, bahkan Tan Kat Sun mendorong anaknya, Ping Hen (Rio Dewanto), untuk masuk Islam. Demikian pula dalam My Name Is Khan, berkat perjuangan Rizwan, cap terorisme yang dilabelkan kepada umat Islam di Amerika Serikat menjadi tidak benar. 

Sangat disayangkan ketika film sebagus itu ditolak, sementara film-film setan, pocong, babi ngepet, kuntilanak, genderuwo, dan film yang menonjolkan esek-esek dibiarkan beredar dan tayang. Padahal film itu selain tidak mendidik juga merusak iman. Kita juga tidak fair kalau memilih film hanya sesuai dengan selera kita. Di sini berarti ada kelompok-kelompok yang tidak memberi tempat pada perbedaan.(Detik.com)