Selasa, 16 Agustus 2011

Miris, Dari Ajun ke Darussalam

Oleh Sulaiman Tripa - Suatu hari, tiba-tiba, saya teringat banyak hal. Dalam perjalanan ke kampus, dari Ajun ke Darussalam, hari itu terasa ada ingatan yang sambung-menyambung keluar. Setiap pagi saya berangkat kerja dari Ajun. Ada sekitar 15 kilometer perjalanan tersebut, dan dalam 15 kilometer tersebut tampak berbagai hal, ada yang ganjil, biasa-biasa saja, dan berbagai lainnya.
ilustrasi

Ketika berangkat ke kampus, saya harus singgah di beberapa tempat untuk membeli beberapa keperluan. Saya mengisi dua atau tiga liter minyak kendaraan di tempat pengisian bahan bakar. Minyak dengan nominal sekitar Rp10.000 itu bisa bertahan tiga atau empat hari. Namun di tiga tempat parkir, saya harus membayar masing-masing Rp1.000. Uang parkir dengan jumlah itu terus berlangsung di Kota Banda Aceh, walau menurut Qanun Parkir, tarifnya hanya Rp500 saja.

Tidak ada sosialisasi apapun dari pemerintah yang sudah menswastakan pengelolaan tempat umum seperti jalan. Dari hasil penjualan yang dapat tidak seberapa itu, pengendara seperti saya jarang mendapat tanda bukti alat pungut parkir. Sebagian tukang parkir juga marah-marah bila dikasih Rp500, sebagaimana ada pengumuman yang menyebut tarif parkir memang segitu. Tapi berdebat sama orang kecil yang menjaga parkir, bukanlah jalan keluar. Mereka juga tameng di level paling bawah, yang berusaha untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya entah bagi siapa. Sementara pemerintah adalah penerima dana yang tidak seberapa itu.

Saya juga harus katakan pernah berhadapan dengan orang-orang tulus, yang mengelola parkir, dan dengan penuh muslihat mengembalikan uang Rp500 ketika saya serahkan uang Rp1.000. Saya pernah katakan agar diambil saja, tapi jawaban dari yang bersangkutan, Dengan Rp500 saja, sudah ada bagian saya”.

Masalahnya adalah bukan pada boleh-tidak boleh pemungutan yang seperti itu. Namun pemungutan apapun dari rakyat seyogianya mendapat pengawasan yang ketat.

Para pengambil kebijakan yang sebagian berasal dari parpol—sering berkilah bahwa pemasukan tersebut untuk kemakmuran rakyat. Padahal dari sekian pemasukan, hanya sebagian kecil yang benar-benar mengalir untuk pembangunan yang nyata bagi rakyat. Selebihnya, untuk membiayai para pekerja dan perencana pembangunan.

Kondisi pembangunan setelah datangnya masa otonomi, menjadikan hampir semua sektor untuk bisa diuangkan. Dari segala sudut Daerah seperti memang diharapkan bisa menghasilkan uang. Bahkan sebagian bumi dan air yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat, lalu dikelola-swastakan untuk mendapatkan bagi (Pembangunan) daerah.

Bayangkan betapa banyak orang bisa mendapatkan pendapatan yang berasal dari pungutan dari sektor saja. Dan sektor-sektor yang tidak diganggu gugat tersebut sepertinya menjadi lahan empuk.

Di samping itu, ketika berjalan lagi memasuki sudut-sudut kota, swalayan besar sudah berderet, terpacak di sana-sini. Hadirnya berbagai bentuk toko modern, sudah pasti dilalui dengan proses perizinan. Di sini, pemerintah adalah pemberi izinnya. Masalahnya adalah izin yang dikeluarkan berpeluang mematikan kios-kios kecil yang berada di sekitarnya. Ironisnya, dalam konsep pembangunan, keberadaan kios-kios tersebut jarang mendapat perhatian. Padahal keberadaannya juga sebagai fondasi ekonomi yang paling kuat yang tahan segala goncangan ekonomi sebesar apapun.

Namun masalahnya adalah sebagian kios-kios tersebut umumnya tidak memiliki izin. Padahal kalaupun dikumpul, hasilnya tidak seberapa, bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat masyarakat. Mereka berjualan siang-malam untuk mendapatkan keuntungan yang barangkali cukup sehari-dua hari saja. Tapi di berbagai tempat, kios-kios dianggap perusak tata pembangunan. Dengan sigap, kios-kios dengan mudah dibongkar.

Jadi dalam konteks hukum dan kebijakan, pertanyaan-pertanyaan mengenai untuk siapa pembangunan, kerap dipertanyakan untuk direnungkan. Karena pada kenyataannya konsep pembangunan kemudian menjadi rumus paling jitu untuk tidak memihak kepada rakyat kecil, yang dilakukan oleh sebagian tertentu untuk mengambil keuntungan.

Pemerintah sering diam ketika berhadapan dengan orang-orang ber-uang. Kanopi-kanopi yang menjulur hingga ke jalan milik orang kaya, tidak ada kekuatan untuk ditertibkan. Berbeda dengan penertiban untuk orang-orang kecil, bisa dilakukan tanpa kenal waktu.

Lihatlah bagaimana tumbangnya pepohonan di kota. Dengan alasan pembangunan, di negeri yang hijau ini dengan mudah pohon-pohon yang berusia puluhan tahun dirubuhkan. Ketika dibangun jalan ke Ulee Lheue, berapa banyak pohon asam yang berusia ratusan tahun, kemudian dipotong. Belum lagi dalam perluasan jalan di taman putroe phang. Kini dalam proyek drainase, pohon-pohon juga ditumbangkan.

Berbeda sekali dengan beberapa daerah lain, misalnya Bali dan Yogyakarta, daerah yang tidak mendengung-dengungkan sebagai daerah hijau, namun sangat menjaga keberadaan pohon-pohon. Bahkan tidak jarang kita temui jalan-jalan yang justru digeser ketika berhadapan dengan batang pohon. Jadi bukan sesuatu yang aneh bila di tempat orang, pohon-pohon itu terletak di tengah-tengah jalan kota.

Perilaku yang tidak santun juga menjadi fenomena tersendiri. Menggunakan jalan raya dan memarkir kendaraan seenaknya, adalah corak perilaku tersebut. Mobil-mobil mewah yang diparkir seenaknya, adalah gambaran bahwa harga mobil tidak sebanding dengan harga kesantunan pengendaranya. Belum lagi sikap tidak mau mengalah ketika menggunakan fasilitas umum.

Semua yang saya sebut, teringat dan saya saksikan dalam perjalanan suatu hari dari Ajun ke Darussalam. Perjalanan yang tidak terlalu panjang, namun terlihat berbagai hal. Entah bagaimana bila perjalanan yang ditempuh lebih jauh. Barangkali berbagai pemandangan ganjil terlihat lebih banyak lagi. Wallahuaklam.[]Sumber harian aceh