Senin, 19 September 2011

[SUARA KORBAN KONFLIK] BERJUANG DEMI AMANAH SUAMI

Asmarawati
ACEH MINUTES | Asmarawati atau bisa di panggil kak Asmara begitulah orang memanggil diri saya. Dulunya saya memiliki seorang suami yang sangat setia menemani saya baik dalam keadaan duka maupun suka. Saya memiliki anak yang masih kecil dan masih sekolah semuanya.

Suami saya bernama Zulkifli T Ilyas yang merupakan tulang punggu keluarga dan tempat berlindung bagi anak-anak saya, akan tetapi hal itu sekarang ini telah sirna semuanya. Suami saya hilang sejak 3 juli 2003 dan sampai sekarang belum juga kembali.

Suami saya dalam kesehariannya berteman dengan semua orang, karena suami saya pernah menjabat sebagai keuchik desa dan oleh masyarakat suami saya bisa diterima oleh semua masyarakat. Akan tatapi walaupun suami saya disibukkan dengan kegiatannya sebagai keuchik beliau tetap akan selalu menyepatkan waktunya walau hanya sesaat untuk selalu bersama dengan anak – anaknya yang masih sangat membutuhkan perhatian dia.

Saya mengetahui suami saya hilang sejak tanggal kejadian dan saya mengatuhi kejadian dari pak geuchik leman limpok. Suami saya diambil jam 16;00 wib oleh aparat dan jam 17;00 wib datang pak geuchik leman untuk memberi tau saya bahwasannya suami saya telah di bawa oleh aparat keamanan.

Mengetahui hal itu saya merasa sangat sedih, karena tidak tau mengapa suami saya di bawa oleh aparat sebab setahu saya suami saya selam ini tidak pernah ada masalah dengan siapa pun. Setelah mendapat informasi dari pak geuchik leman saya langsung mendatangi polsek terdekat dan polres Bireuen untuk mencari tau dimana suami saya di bawa dan apa yang menjadi kesalahan suami saya, akan tetapi itu semua nihil.

Setelah lama mencari akan tetapi saya juga tidak menemukkan dimana keberadaan suami saya dan saya pulang kembali ke rumah, setelah kurang lebih 5 hari saya mencari tau dimana keberadaan suami saya, tiba – tiba datang segerombolan orang dari SGI yang ada di bireuen menangkap saya di rumah dan meminta senjata yang dimiliki suami karena suami saya di tuduh GAM, akan tetapi di rumah memang tidak ada senjata dan saya di anggap sekongkol dengan suami saya serta menyembunyikan senjata yang dimiliki oleh suami saya, karena saya dianggap oleh mereka tidak mau berkerja sama maka saya di bawa oleh mereka ke penjara Bireuen.

Selama di penjara saya tidak pernah berpisah dengan 6 orang anak – anak saya yang masih sangat kecil, untuk memenuhi kebutuhan makan terhadap anak – anak saya selama kami di penjara saya membeli sendiri makanan bagi mereka karena yang diberikan makanan oleh petugas penjara hanya 2 orang anak saya yang masih kecil dan selain oleh saya makanan untuk saya dan anak – anak saya juga dibelikan oleh abang saya semampunya dia saja. Selama didalam penjara saya hanya bisa mencoba untuk tetap tegar mengingat anak – anak saya yang masih kecil dan belum tau apa – apa dan saya hanya mampu meratapi nasib saya di balik jeruji besi.

Pada suatu hari, saya sudah lupa kapan hari yang sangat mengembirakan terjadi, dimana pada saat itu pangdam IM Mayjen TNI Endang swaraya sedang melakukan kunjungan ke penjara bireuen untuk melihat narapida disana dan beliau merasa iba hati melihat nasib saya yang bersama anak – anak masih kecil berada di dalam penjara, sehingga meminta para penjaga penjara yang ada di sana untuk membebaskan saya. Pada saat itulah saya kembali dapat menghirup udara segar, pembebasan saya dari penjara tanpa ada diseratai dengan surat pembebasan karena saya saja ditangkap tanpa ada surat penangkap dan pemenjaraan diri saja juga tanpa ada proses pengadilan yang harus saya jalani sebelumnya.

Pasca hilangnya suami semua tanggung jawab keluarga menjadi tanggung jawab saya karena selama ini yang selalu memenihi kehidupan kami adalah suami saya dan saya hanya menjadi Ibu Rumah Tangga karena anak saya yang masih kecil.

Setelah saya keluar penjara akibat kebijaksanaan dari Panglima Daerah Operasi Militer, Mayjen Endang Suwarya yang melihat saya dan anak – anak kecil di dalam penjara maka saya di bebaskan maka saya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya memcoba untuk berjualan nasi goreng, mie goreng serta kopi.

Masyarakat pun ikut menyambut saya dengan apa adanya artianya mereka tidak merasa beda ataupun canggung bertemu dengan saya karena masyarakat tau apa yang saya dan suami saya lakukan selama ini.


Akan tetapi hal yang paling memberatkan bagi saya saat saya harus mejawab pertanyaan anak – anak saya dengan cara berbohong pada saat mereka menanyakkan kemana ayah mereka kenapa tidak pulang – pulang? Hati saya terasa tersayat – sayat dan saya mencoba berusaha menjawabnya dengan tenang “bahwasanya ayah sedang mencari rezeki, karena tidak mungkin saya mengatakan kepada mereka bahwa ayahnya hilang sampai sekarang tidak tau kemana?

Mereka sampai sekarang masih menunggu kedatangan mereka dan terus bertanya kepada saya kemana ayah mereka pergi, saya mencoba untuk menceritakan kepada mereka secara perlahan-lahan serta meminta kepada mereka untuk mendoakan keselamatan ayah mereka kalau masih hidup, karena telah lama di culik oleh orang selama 6 tahun lebih.

Tapi yang paling susah pada saat anak saya yang paling bungsu bertanya dimana ayah dia, saya pertama kesulitan sekali untuk menceritakan kepadanya, karena apa yang mau ditunjukkan kepada anak saya yang sama sekali tidak pernah bertemu sama ayah, kalau memang ayah sudah meninggal sangatlah gampang tinggal saya pergi ke makamnya dan menunjukkan kepadanya akan tetapi kalau hilang gimana cara menunjukkan sama anak kecil yang sekarang baru duduk di kelas 2 SD.

Kesemua anak saya sampai saat ini masih menunggu kedatangan ayah mereka, dimana pada saat ada pemulangan tahanan politik aceh yang di penjara di luar aceh di banda aceh, anak saya selama 2 hari tidak ada yang sekolah menunggu mana tau ayahnya ada dalam rombongan tersebut dan meminta kepada saya untuk menjemput ayahnya di banda aceh.

Selama saya di penjara anak saya sempat tidak ada yang naik kelas karena ikut sama saya di penjara dan mereka tidak berani untuk pulang ke rumah karena ketakutan. Biaya pendidikan mereka selama ini dari hasil saya jualan tidak ada sedikitpun dari beasiswa baik itu beasiswa untuk anak korban konflik atau apa pun.

Akan tetapi terlepas dari itu semua saya akan tetap menyekolahkan semua anak – anak saya karena suami saya jauh – jauh hari sebelum musibah ini menimpa kami pernah berpesan sama saya apapun yang terjadi sama kita, anak – anak harus tetap sekolah karena hanya itu yang akan menjadi masa depan mereka kelak.

Maka dari itu saya sangat berharap dengan adanya perdamaian ini pemerintah lebih peduli dengan kami ini korban konflik, yang dulu pada saat konflik terjadi kami tidak tau apa – apa tapi ikut menjadi korban dan meminta adanya keadilan bagi kami serta adanya beasiswa bagi anak – anak korban konflik supaya saya dapat melanjutkan amanah yang telah diberikan oleh suami saya.( Hendra Saputra/Mereka yang dilupakan)