Minggu, 21 Agustus 2011

Enam Faktor Pemicu Praktik Mafia Anggaran

ilustrasi
JAKARTA - Koalisi antimafia anggaran mengidentifikasi ada enam celah yang memungkinkan terjadinya mafia anggaran oleh legislatif dan eksekutif. Dari data Indonesia Budget Centre (IBC), terdapat 63 anggota DPR terlibat dalam modus korupsi sejak periode 1999, 52% di antaranya merupakan kasus korupsi terkait kebijakan anggaran dan pemalsuan administrasi.

"Berbagai kasus korupsi, diungkap pelan-pelan oleh KPK. Melibatkan berbagai institusi di DPR, kementerian, juga pejabat-pejabat partai. Oligarki kekuasaan luar biasa dalam menggarong uang negara," kata Roy Salam bersama koalisi antimafia anggaran di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (21/8).


Enam penyubur mafia anggaran, menurut koalisi antimafia adalah:

1. Bertambahnya kekuasaan DPR dalam penganggaran.
Kewenangan yang dimiliki Banggar (Badan Anggaran) DPR dalam menentukan plafon anggaran, bisa membuat Banggar lebih detil mengetajui perencanaan anggaran dari proyek-proyek yang masuk ke DPR.

2. Penyusunan anggaran tidak transparan dan koruptif.

Mulai dari perencanaan sampai penetapan anggaran seringkali tidak transparan dan beberapa rapat cenderung tertutup. Hasil rapat yang menghasilkan detil anggaran (yang rigit) sebagai hasil kompromi antara komisi dengan beberapa kementerian. Hasilnya mudah untuk "sinkronisasi" dengan Banggar.

3. Adanya pos alokasi anggaran di luar ketentuan resmi tentang keuangan negara.

Alokasi anggaran muncul beberapa waktu lalu di luar ketentuan resmi yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara (dana penyesuaian dan percepatan pembangunan) yang dimunculkan oleh Banggar. Hal ini berawal dari celah antara pendapatan dan belanja negara. Sehingga selisihnya sering digunakan oleh aktor-aktor mafia anggaran untuk dialokasikan dengan alasan untuk daerah.

4. Tidak ada RDPU dengan masyarakat saat penentuan anggaran.

Sebelum pengesahan anggaran, harus melalui proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan masyarakat. Namun, pembahasan RUU APBN tidak dilakukan dan cenderung pada pembahasan elit

5. Ada ketimpangan antara rencana alokasi dengan kebutuhan daerah/konstituen.

Prinsip alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan tidak diindahkan. Banggar kurang memperbarui data riil di lapangan sehingga alokasinya cenderung pada kepentingan politik semata.

6. Adanya hukum memancing uang dengan uang.

Ada proses jual beli alokasi untuk menentukan besaran anggaran untuk daerah. Untuk memperlancar anggaran sebuah daerah, daerah tersebut harus memberikan bayaran kepada beberapa aktor mafia anggaran. 
sumber: MI.com