Kamis, 15 September 2011

Memutus Kisruh di Republik Pansus

ACEH MINUTES | Menengok jejak founding father negeri ini, dimana dialog kenegaraan tercatatkan dalam buku-buku sejarah, nuansa ideologisnya begitu kental terlihat pada sidang persiapan kemerdekaan, entah waktu masih bernama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai maupun Dokuritu Zyunbi Iin Kai, sangat membanggakan memiliki mereka meski dalam kajian sejarah.

Pergulatan islam, nasionalis maupun komunis pula mewarnai era Muhammad Natsir, Aidit, maupun Soekarno. Dialog-dialog ideologis tersebut praktis mewarnai kopi hangat sejarah republik tercinta ini. Kaya wawasan, mendasar serta berbasis intelektual organik hasil gemblengan gerakan kemerdekaan yang masif.

Lompat setengah abad setelahnya, pasca gelombang demokratisasi yang dikenal dengan era reformasi, negeri ini dihadapkan pada pilihan untuk membangun kembali demokrasi yang tercabik-cabik oleh rezim otoriter Suharto. Ratusan undang-undang dibuat, ribuan organisasi dilahirkan, serta puluhan partai politik diciptakan menyertai era ini.

Dan yang disebut terakhir inilah fokus permasalahan dikeluhkan. Partai politik sebagai tafsiran atas makna kedaulatan rakyat dalam terma demokrasi, praktis memiliki kans mutlak untuk menjajaki kursi kekuasaan di negeri ini. Yang jadi permasalahan adalah bukan pada praktek turunan dari demokrasi ini, namun kondisi riil yang menyertai langkah-langkah kader partai politik yang semakin hari semakin menjauhi mandatnya sebagai kepanjangan tangan dari kedaulatan rakyat. Bahasa kambing hitamnya, persoalan seperti ini adalah ulah oknum.

Oknum-oknum itu yang kemudian menggerogoti kemuliaan dari aspek kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Oknum itu yang harus bertanggungjawab untuk mengembalikan kepercayaan ketika setiap waktu pemilu diselenggarakan, setiap waktu itulah terlihat rakyat enggan menitipkan kedaulatannya kepada partai politik (baca: golput). Oknum itu juga yang harus membayar biaya tinggi demokrasi, karena setiap event pemilu, kandidat legislatif maupun eksekutif meski mengeluarkan maharuntuk sekedar membelikan sembako, kaos, stiker, bahkan uang rokok agar pemilik suara mau melangkahkan kakinya ke bilik suara di TPS.

Persis seperti yang pernah diungkapkan oleh Professor Jimly Asshiddiqie bahwa demokrasi ini menyimpan cacat bawaan. Persoalannya terletak pada prioritas atas kuantitas, bukan kualitas. Sehingga proses pencarian pemimpin politik didasarkan atas popularitas dan berduit bukan atas dasar kemampuan intelektual dan nalar kepemimpinan. Prinsipnya, beliau menggaris bawahi kesalahan praktik demokrasi yang terjadi selama ini. Komarudin Hidayat juga mengeluhkan hal yang sama, bahwa proses rekrutmen partai politik sepi dari orang-orang yang mempunyai kapasitas mengelola negara.

Menyoal ini, korelasi antara partai sebagai penyampai aspirasi rakyat dengan sifatnya sebagai organ yang hidup dari proses demokrasi (pemilu), mau tak mau kader-kader partai meski lihai dalam mendulang pundi-pundi kekuasaan yang bermuara pada pemerolehan dana politik.

Kalau dirujuk pada paragraf awal, M. Natsir dan rekan seangkatannya di partai lain menguatkan pendapat bahwa pertarungan ideologis parlemen belasan dekade silam berbanding terbalik dengan juniornya saat ini. Masyumi vis a vis PKI maupun PNI terlihat kental perseteruannya bukan pada arus kepentingan materiil. Meskipun pecah kongsinya Masyumi menjadi satu dua partai kecil, itu lebih disebabkan arus politik aliran yang berbeda antara kaum tradisionalis serta modernis. Fragmentasi juga disebabkan pada pergulatan politik islam dan politik sekuler. Lain itu, mereka disatukan paham anti-imperialisme.

Ketika hari ini beban demokrasi mulai menuntut biaya tinggi, mereka yang menguasai rimba politik hanya didominasi oleh kaum penguasa dan pengusaha. Setali tiga uang akhirnya, kaum muda yang terjun ke ranah itu pun terjebak perilaku yang sama. Kita bisa melihat bagaimana kasus yang menghantam Muhammad Nazaruddin, politisi yang bisa dianggap mewakili kaum muda, juga menyeret nama-nama kaum muda lainnya, macam Anas Urbaningrum, Andi Alfian Malarangeng, maupun Muhammad Misbakhun. Kalau tidak begitu, kaum muda hanya pandai mendompleng nama besar trah keluarganya. Ada Ibas Yudhoyono, Puan Maharani, Dave Laksono, Ahmad Hanafi Rais, dan tak terhitung banyaknya putra-putri mahkota di daerah yang berada di bawah bayang-bayang trah politik keluarga.

Rusaknya regenerasi politik ini lebih banyak dipengaruhi sistem politik di Indonesia. Proses politik di DPR salah satunya. Sejak kasus mencuatnya bailout Bank Century, ramai-ramai fraksi di DPR mengusulkan pansus. Pansus, atau panitia khusus, yang memang sengaja dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah khusus di parlemen ini, terlihat hanya proses tawar-menawar semata. Kasus-kasus yang ramai di media kalau kita amati tak semuanya tuntas, bahkan kandas di tengah jalan. Tukar menukar kasus para petinggi menjadi sesuatu hal yang dilumrahkan. Pansus Bank Century menjadi alat tawar Partai Golkar untuk menawan Sri Mulyani dan Boediono untuk menghentikan sentuhan terhadap kasus pajak yang melilit Aburizal Bakrie, serta sebuah jalan agar Golkar masuk dalam koalisi.

Sama halnya dengan kasus Nazaruddin serta suap di Kemenakertrans yang berlaku sekarang. Keduanya disinyalir hanya dipotong dijalan dengan mengorbankan satu-dua orang yang memang tidak penting Meskipun kini bakal muncul pula pansus terkait suap di kemenakertrans itu. Buru-buru pula, Muhaimin Iskandar mengancam akan mengusut kembali bailout Century, dimana pada awalnya fraksi Partainya sendiri yang mendukung bahwa kasus bailout ini hanya persoalan salah kebijakan, tak bisa diseret masuk ranah hukum. Tapi hal ini pun tak akan bertahan lama, dan hanya menyeret orang-orang kecil di ring kekuasaan. Dan karena profil kasus-kasus ini terlampau rumit, karena banyak menguak kong-kalikong mafia anggaran yang banyak berseliweran di parlemen, maka yakinlah bahwa itu semua hanya drama layar kaca yang tak sedap ditonton.

Tudingan terhadap sistem politik serta demokrasi yang berbiaya tinggi memang mudah dilayangkan, tapi setidaknya janganlah membelah cermin jika melihat muka yang buruk disana. Ulah pegiat politik itu sendiri yang banyak mencederai demokrasi, yang pada setiap langkahnya hanya menguatkan praktik apatisme rakyat atau menuntut tingginya biaya demokrasi itu. Banyaknya massa mengambang juga karena disfungsi partai dalam mengemban amanah edukasi politiknya. Alih-alih edukasi politik, justru malah mempraktekan suap kepada pemilik suara. Maka makin minim saja, mereka yang terdidik secara benar dan melihat secara bening bahwa apa yang dilakukan oleh partai politik selama ini hanyalah semakin memperburuk citra demokrasi saja.

Disfungsi itulah yang meski dihilangkan. Fungsi partai politik sebagai wahana edukasi politik rakyat meski digalakkan. Hegemoni politik atas jabatan juga meski dihapus. Kalau melihat istana, parlemen, serta kementrian yang gemuk pada hari ini, itu lebih kepada basis balas jasa politik semata, bukan dilihat dari asas kebutuhan. Kalau politisi lebih giat beretorika, maka rakyat lebih banyak melihat hal yang nyata. Kinerja profesional, serta membuka ruang aksesabilitas politik bagi publik luas adalah satu cita-cita bersama dalam kehidupan politik di negeri ini. Kalau partai politik sudah akuntabel, transparan, serta kinerjanya profesional, diiringi kapasitas kadernya mumpuni dalam mengelola negara, maka lingkaran setan demokrasi biaya tinggi bisa diputus di titik episentrumnya.(Duljani)