Rabu, 07 September 2011

[Gempa Singkil] Kisah Bocah Korban Gempa; Sebelum Meninggal, Dedi Minta PS

Ny. Siti (30) warga Jalan T.Nyak Adam Kamil, Desa Subulussalam Utara, 
Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam menangis hsiteris di samping jenazah
anaknya Cok Abang Alias Dedi (10) yang tewas akibat gempa 6,7 SR, Selasa (6/9).
SERAMBI/KHALIDIN
ACEH MINUTES | Play Station (PS). Itulah yang diminta Dediansyah Putra alias Cok Abang (10), murid kelas V SD Negeri 3 Kota Subulussalam, beberapa hari sebelum ia meninggal. Ia berpulang ke Rahmatullah akibat tertimpa beton bangunan saat terjadi gempa 6,7 skala Richter (SR) di Subulussalam, Selasa (6/9) dini hari. 

Karena permintaan Dedi pula, Raja Lela (37), ayah kandung almarhum, berangkat ke Medan, Sumatera Utara, Minggu (4/9) lalu, untuk membeli PS merek Sony sekalian belanja barang dagangannya. “Tapi sampai akhir hayat almarhum, dia tak sempat memainkan PS yang saya belikan,” ujar Raja Lela tanpa dapat menahan tangisnya saat berbincang-bincang dengan Serambi, kemarin.

Dedi adalah anak kedua hasil pernikahan Raja Lela dengan Siti Mala (34). Si anak sebenarnya sudah minta dibelikan PS jauh sebelum puasa Ramadhan lalu. Namun, karena belum punya uang yang cukup, Raja meminta si anak bersabar. 

Beberapa hari setelah 1 Syawal, Dedi kembali menanyakan kapan dibelikan PS untuknya. Kali ini ayahnya menyanggupi dan segera berangkat ke Medan pada Minggu, 4 September lalu. Sang ayah dijadwalkan kembali ke Subulussalam Senin malam. Saat itu, menurut ibunya, Dedi tak sabaran menanti PS yang akan dibawa pulang ayahnya. 

Bahkan, kata sang ibu, dia dan Dedi serta Yuni (7), adik Dedi, baru tidur pukul 24.10 WIB atau hanya beberapa menit sebelum Subulussalam diguncang gempa. 

Tak ada firasat
Sebagai ibu, Siti Mala mengaku tak memiliki firasat apa pun terkait kepergian sang buah hatinya itu. Namun, beberapa saat sebelum tidur, Dedi sempat meminta uang jajan. “Tapi ibunya tidak memberikan uang, karena kue Lebaran di rumah masih banyak dan Dedi pun tidak memaksa,” kata Raja Lela yang sehari-hari pedagang kain obralan.

Karena tak mendapat jajan, Dedi kemudian nekat membuka tas ibunya. Dia temukan uang Rp 1.000 yang sudah terpotong. Uang itu dia sambung seraya berkata kepada adik perempuannya Yuni (7), “Kalau malam ini dibelanjakan, uang ini bakal laku Dek, karena nggak ada yang tahu uangnya bekas dilem.” 

Usai mengelem uang tersebut, Dedi pun pamitan pada ibunya untuk menyeberang jalan ke warung di depan rumah seraya berkata, “Ini terakahir saya menyeberang, setelah itu saya akan tidur, Mak.”

Kata-kata itulah yang kini kerap terngiang-ngiang di telinga Siti Mala. Omongan anaknya itu seakan mengisyaratkan bahwa ia akan tidur selamanya dan tak akan pernah lagi menyeberang jalan untuk jajan. 

Dedi juga sempat mengemasi barang-barang keperluan sekolahnya seperti baju, sepatu, tas, dan buku. Alasannya, sang ibu dalam seminggu terakhir agak cerewet sehingga dia tidak mau ibunya mengomel karena belum mempersiapkan perlengkapan sekolah. Setelah itu, Dedi pun tidur sekamar bersama ibu dan tiga kakak dan adiknya. 

Lalu, pukul 00.57 WIB, gempa mengguncang Kota Subulussalam sehingga meruntuhkan beton dinding tombak layar atap bangunan yang digunakan sebagai tempat belajar Akademi Kebidanan (Akbid) Medica Bakti Persada yang berada persis di samping rumah Raja Lela. 

Nahas, salah satu batu beton yang luruh itu menimpa tubuh Dedi. Padahal, saat gempa mengguncang, ayah Dedi yang sedang pulang dari Medan mengaku sudah berada di Desa Penanggalan, persis di depan Kantor Polisi Militer (POM). Artinya, hanya sekitar dua kilometer lagi dari rumahnya. 

Korban meninggal tertimpa beton konon lantaran sang ibu tak mampu menyelamatkan anaknya yang berjumlah empat orang. Dedi yang tertimpa beton baru tertolong beberapa menit kemudian, karena gelap dan sang ibu kesulitan mencari di mana posisi Dedi berada. 

Mengingat anak dan istrinya tanpa teman di rumah, Raja yang dalam perjalanan pulang dari Medan berdebar-debar hatinya, karena guncangan gempa sangat kuat. Sesampai di rumah, ternyata Dedi tertimpa beton bangunan yang ambruk.

Singkat cerita, PS yang dibeli di Medan itu dia bawa ke rumah tempat anaknya dirawat, namun tak sempat dilihat sang anak. Saat itu, Raja berkata pada Dedi bahwa PS yang dipesan Dedi sudah ia belikan. Tapi, kata Raja, Dedi hanya memandang dengan wajah yang mulai memucat hingga ia mengembuskan napas terakhir. 

“Saya bilang, Nak, ini PS-mu sudah ayah belikan, tapi dia tidak sanggup lagi bicara. Dia hanya memandangi saya, lalu meninggal,” ujar Raja diselingi isak tangis.

Ingin jadi dokter
Semasa hidupnya, alamarhum Dedi, menurut ayahnya, termasuk anak berprestasi. Setiap semester, Dedi meraih ranking II dan III. Dedi juga sangat piawai membaca Alquran. Saat masih kelas I SD, dia sudah dua kali khatam Quran. Ia juga pernah menjuarai lomba azan tingkat Pengajian Nurussalihin, Gang Kombih, Subulussalam Utara.

Menurut Raja, buah hatinya itu bercita-cita ingin menjadi dokter. Bagi keluarga, Dedi merupakan anak yang mendatangkan rezeki, karena setelah ia lahir rezeki orang tuanya lancar. Bahkan Raja yang semula hanya tukang becak mampu membeli rumah dan beralih profesi sebagai pedagang pakaian obralan. Karena itu pula, nama Cok Abang ditabalkan ayahnya pada becak milik Raja, termasuk barang-barang dagangan yang dia beli di Medan. Tapi, kata Raja, semua itu hanya tinggal kenangan karena si buah hatinya kini sudah mendahului menghadap Sang Khalik dalam tragedi gempa kali ini.(Serambinews.com)