Rabu, 10 Agustus 2011

Satpol PP-WH Gerebek Kios Jualan Mi Siang Hari


Lhokseumawe – Personel Satpol PP dan WH menggerebek sebuah kios di Pasar Inpres Lhokseumawe yang menjual masakan mi instan, Selasa (9/8) siang. Penjaga kios ditangkap, lima warga yang menikmati mi rebus sambil merokok berhasil kabur.

Kepala Kantor Satpol PP dan WH Kota Lhokseumawe Azwar Abda mengintrogasi Reza, penjual mi instan untuk warga yang tidak berpuasa di Pasar Inpres Lhokseumawe, Selasa (9/8).(HARIAN ACEH/IRMAN SJAH)
Kepala Kantor Satpol PP dan WH Kota Lhokseumawe Azwar Abda mengatakan, sehari sebelumnya atau Senin pihaknya sudah mendatangi kawasan Pasar Inpres itu untuk mengingatkan pedagang agar tidak berjualan makanan siang hari. “Tadi (Selasa) kita menerima informasi dari warga bahwa ada sebuah kios yang menyediakan makanan dan minuman, maka petugas langsung ke lokasi,”  katanya.
Di lokasi, kata Azwar, petugas menemukan kios dimaksud. Di dalam kios ada lima warga dewasa yang sedang menyantap mi goreng sambil merokok. Juga ada kopi.  Sialnya saat petugas mengamankan mereka ke mobil untuk dibawa ke kantor Satpol PP dan WH, kata dia, lima warga itu melarikan diri. “Yang tertinggal hanya penjaga atau yang berjualan di kios itu, yakni Reza,14. Remaja tanggung ini kita bawa ke kantor bersama barang bukti mi instan, kopi, puntung rokok dan barang bukti lainnya,” kata Azwar didampingi kasi WH Karimuddin.
Azwar menyebutkan, Reza akan diperiksa lebih lanjut terkait berjualan makanan di siang hari. Kemudian remaja ini akan diberikan pembinaan guna tidak melakukan perbuatan yang sama ke depan selama Ramadhan. Juga kita minta meneken surat pernyataan tidak mengulangi kesalahan itu. Lalu, Reza akan kita diserahkan kepada orangtua,” katanya.
Sebelumnya  dalam razia di kawasan Mon Geudong Kecamatan Banda Sakti, lanjut Azwar, petugas mengamankan tiga pria yang diduga makan di sebuah warung, siang hari. Tiga warga itu, kata dia, masih dalam pemeriksaan di kantor Satpol PP dan WH.(nsy)
Sumber : Harian Aceh.com

Rapat paripurna DPRK Langsa ricuh

LANGSA - Rapat paripurna II DPRK Langsa dengan agenda membahas Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Perencanaan Pendapatan Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2011 di aula gadung dewan setempat berlangsung ricuh.

Pemicunya, karena anggota dewan yang berasal dari Partai Aceh (PA) berbeda pandangan dengan anggota dewan lain, yang berasal dari Parnas tentang status M Zulfri selaku Ketua DPRK Langsa.

Para anggota dewan dari Partai Nasional menolak kehadiran dan kepemimpinan M Zulfri dari PA, dalam rapat paripurna.

Alasannya seperti diungkapkan Syarial Salim dari PDIP, Rubian Harja dari Golkar dan Ridwan dari PKS, karena Zulfri tak sah lagi memangku jabatan ketua DPRK Langsa, sebab dinilai cacat hukum terkait putusan MA yang telah dijalaninya di LP Langsa beberapa waktu lalu.

Berdasarkan hasil paripurna DPRK Langsa yang memutuskan dia tidak berhak lagi sebagai pimpinan dewan dan sebagai anggota dewan sejak mendapat putusan hukum tetap dari MA terkait kasus pidananya.

Sementara pandangan dari anggota DPRK PA yang dikemukakan Salahudin selaku Ketua Komisi A, dan Bukhari serta Burhansyah Ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD), penolakan kehadiran Zulfri dalam sidang sebenarnya tak punya alasan hukum apa-apa, karena Zulfri secara hukum masih menjabat ketua DPRK Langsa sebelum surat pemberhentian terhadapnya dikeluarkan.

Rapat paripurna II DPRK Langsa dengan agenda pembahasan KUA dan PPAS semula aman-aman saja. Awalnya pada posisi pimpinan dewan, hanya ditempatkan dua kursi pimpinan diperuntukkan bagi Wakil Ketua Hidayat dan Wakil Walikota Langsa Saifuddin Razali.

Namun ketika ketua DPRK Langsa yang ikut hadir dalam rapat paripurna, melihat kursi untuknya tidak disediakan dan langsung meminta salah seorang petugas sekretariat dewan untuk menempatkan satu kursi tambahan pada meja pimpinan rapat untuk dirinya.

Begitu ketua menduduki kursi pimpinan rapat, hujan interupsi dari anggota dewan yang menolak kehadirannya langsung memenuhi ruang rapat paripurna yang dihadiri unsur Muspida plus dan Muspika plus.

Akibatnya, rapat paripurna beralih menjadi perdebatan tentang penolakan kehadiran Zulfri. Akhirnya rapat tersebut pun terpaksa bubar tanpa ada keputusan, karena peserta rapat dan undangan yang hadir membubarkan diri.

Sumber Waspada online

Operasi Militer Tak Selesaikan Konflik Papua

JAKARTA - Kebijakan dan pola pendekatan yang digunakan untuk mengatasi persoalan Papua di era reformasi belum mengalami perubahan sejak daerah tersebut dinyatakan berintegrasi dengan Indonesia.

Pendekatan yang digunakan didominasi pendekatan keamanan dengan kebijakan menumpas apa yang disebut gerakan separatis, walaupun di era reformasi sudah menggunakan jalan politik.

Demikian diungkapkan Direktur Program Imparsial Al-Araf dalam acara peluncuran penelitian dan diskusi publik bertajuk "Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Penegakan HAM di Papua" di hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (9/8/2011).

Menurutnya, pernyataan yang menyebutkan masalah Papua adalah masalah internal bangsa Indonesia yang dapat diselesaikan melalui proses demokrasi tidak terwujud pada tataran pelaksanaan.

"Hal ini dapat dilihat dari keengganan melakukan dialog dan malah terus mengedepankan pendekatan keamanan dengan pelibatan militer melalui operasi militer (sekutirisasi) dalam penyelesaian konflik di Papua," ujar Al Araf.

Sekuritisasi Papua, kata Al Araf, dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, masih digunakannya pendekatan serta kebijakan keamanan dengan melibatkan militer dalam penyelesaian konflik oleh pemerintah pusat.

Kedua, masih berjalannya operasi militer di Papua yang tidak jarang berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM seperti dalam kasus Puncak Jaya.

Ketiga, ia melanjutkan, dalam operasi militer di Papua masih sering diteruskannya pasukan non-organik. Keempat, adanya penumpukan dan penyimpangan anggaran untuk TNI terkait dengan operasi yang dilakukan TNI yang berasal dari APBN, APBD, dan perusahaan swasta seperti PT Freeport Indonesia.

"Kebijakan dan pola pendekatan keamanan tersebut berhubungan dengan proses reformasi keamanan dan reformasi TNI yang belum tuntas, serta rendahnya profesionalisme aparat TNI melahirkan peristiwa-peristiwa kekerasan yang merupakan pelanggaran HAM," jelasnya.

Kondisi tersebut, menurut Al Araf, disebabkan juga oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Namun, dia menilai, faktor utamanya adalah konflik yang tidak kunjung diselesaikan secara serius oleh pemerintah.

"Jadi, jika ini tidak diselesaikan, konflik akan semakin berkembang dan semakin komplek dengan politik dan kebijakan keamanan yang akan menambahkan semakin sekam konflik di tanah Papua," kata dia.

Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM di Papua, dengan cara melakukan percepatan reformasi tingkat keamanan, terutama reformasi TNI.

Selain itu, pemerintah juga harus melakukan desekuritisasi dan pengurangan aparat militer di Papua. "Dalam langkah itu, pemerintah harus mengedepankan pendekatan penegakan hukum dengan menempatkan polisi sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dengan tetap menghormati nilai HAM, karena sekuritisasi tidak akan menyelesaikan konflik di tanah Papua," tandasnya.

Sumber kompas.com

Soal Papua, di Mana Komnas HAM?

JAKARTA� Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty menilai, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lemah dalam mengawasi kasus-kasus kekerasan di Papua. Menurut dia, saat ini otoritas pemantauan HAM yang dilakukan Komnas HAM tidak berdaya karena ketertutupan informasi dan ketidakpedulian TNI terhadap rekomendasi yang diberikan.

"Lemahnya kemauan dan keberanian Komnas HAM ini menjadi faktor penghambat dalam melakukan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan, apalagi dalam melakukan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan," ujar Poengky dalam acara peluncuran penelitian dan diskusi publik bertajuk "Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Penegakan HAM di Papua" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (9/8/2011).

Poengky menuturkan, pekan lalu, setidaknya ada tiga peristiwa kekerasan yang terjadi Papua. Peristiwa pertama terjadi pada Minggu, 31 Juli 2011, yaitu konflik perebutan dukungan resmi Partai Gerindra untuk kursi Kabupaten Puncak yang menewaskan 23 orang di Ilaga.

Kedua, penganiayaan dan pembunuhan sekolompok orang tak dikenal di tanjakan Nafri-Abepura pada Senin, 1 Agustus 2011, yang menewaskan 4 orang dan melukai sedikitnya 7 orang.

Terakhir adalah penyerangan pos TNI di Tingginambut pada 2 Agustus 2011 yang mengakibatkan tewasnya seorang prajurit TNI, diikuti dengan penembakan helikopter milik TNI yang mengevakuasi jenazah prajurit TNI tersebut.

Menurut Poengky, peristiwa tersebut menunjukkan masih banyaknya kasus kekerasan yang harus dicermati oleh Komnas HAM. "Dalam hal ini diperlukan juga penguatan otoritas sipil dalam mengendalikan dan memantau pelaksanaan kebijakan politik serta penguatan pengawasan publik untuk menjaga agar tidak terjadi hal serupa," katanya.

Lebih lanjut, Poengky menuturkan, otoritas sipil dalam hal tersebut seharusnya juga di bawah kendali Presiden ataupun pengawasan parlemen oleh DPR. Ia mengatakan, hal tersebut penting dilakukan mengingat selama ini politik keamanan dan tindakan pengamanan di Papua dilakukan sendiri oleh TNI.

"September tahun lalu, Presiden Yudhoyono pernah mengutus tiga menteri koordinator untuk mengevaluasi pelaksaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Tetapi, hingga kini tindak lanjut dari kebijakan itu belum terlihat hasilnya," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Poengky, penguatan pengawasan publik dan otoritas sipil membutuhkan prasyarat keterbukaan informasi kepada publik di sektor keamanan dan keamanan.

Ia menilai, selama ini pengawasan yang dilakukan oleh Komnas HAM, parlemen, dan Presiden di Papua sering kali tidak ada kontrol dan lemah untuk mengawasi pergerakan atau operasi militer.

"Hal itu terjadi karena yang menjadi prioritas di Papua adalah keamanan karena anggapan masih adanya ancaman. Yang kita inginkan adalah pihak-pihak terkait dapat lebih baik mengawasi hal-hal semacam itu," katanya.

Sumber Kompas.com

Penembak Cagee terus diburu

BIREUEN - Jajaran Polres Bireuen, belum pernah berhenti memburu pelaku, bahkan sampai sekarang mereka terus mengumpulkan bukti-bukti, keterangan serta hal-hal lain yang dapat mengungkapkan atau menguak tabir kasus itu, sekaligus dapat menangkap pelaku yang menembak Amiruddia alias Saiful alias Pon Cagee atau Tgk Cagee di depan warkop Gurkha Peusengan, Bireuen.

Kapolres Bireuen, AKBP HR Dadik Junaedi, melalui Kasat Reskrim Iptu Novi Edyanto, mengatakan tersangka terus dicari, mudah-mudahan dapat tertangkap karena telah menembak mantan panglima muda TNA wilayah Batee Iliek itu.

Menurut Novi, perkembangan kasus itu masih seperti sebelumnya, yaitu pernah dimintai keterngan sepuluh saksi, lalu dipanggil ulang untuk mempertanyakan terkaan sketsa wajah tersangka.

Namun saat itu berbeda dengan yang di llihat para saksi pada malam itu dan setelah itu belum ada perkembangan lainnya, kecuali para anggota tetap bekerja di lapangan. Belum ada perkembangan lainnya mengenai kasus ini,katanya, tadi malam.

Ditanya bagaimana hasil uji balistik dua peluru aktif dam dua selongsong yang ditemukan di lokasi kejadian pembunuhan Cagee, kasat reskrim mengatakan, peluru dan selongsong masih berada di lab Kota Medan.

Ditanya kembali terhadap kemajuan dari perkembangan pengungkapan kasus itu, lagi-lagi Novi mengulang bahasa yang sama. Tidak ada perkembangan lain, seperti yang selama ini, maka kita terus bekerja untuk mengungkapkan pelakunya, katanya.

Sebagaimana diketahui, mantan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Batee Iliek itu� tewas di tembak orang tak di kenal (OTK) dibagian kepala dan bahunya saat ke luar dari warung kopi (warkop) Gurkha, Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan, kabupaten setempat, Jumat (22/7), menjelang dini hari diduga kuat pelaku menggunakan senjata laras panjang jenis AK 56 atau AK 47.

Sumber : Waspada online